PROGRAM Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas Presiden Prabowo Subianto menjadi angin segar dalam upaya memperbaiki kualitas gizi anak-anak Indonesia.
Dengan target menjangkau 3 juta penerima manfaat secara bertahap mulai Januari 2025, program ini menunjukkan komitmen pemerintah dalam menghadirkan solusi konkret terhadap permasalahan gizi.
Namun, ada beberapa catatan kritis yang perlu mendapat perhatian, terutama terkait distribusi susu sebagai salah satu komponen menu bergizi.
Baca juga: Koperasi Agro Gelem Hijau Jadi Percontohan Program Makan Bergizi Gratis di Lampung Timur
Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana menyatakan bahwa susu tidak akan menjadi menu standar bagi semua penerima program MBG.
Kebijakan ini didasarkan pada pertimbangan logistik, di mana susu hanya akan disalurkan di daerah sentra peternakan sapi perah.
Telur atau Daun Kelor Jadi Alternatif Penuhi Kebutuhan Protein dan Kalsium
Sebagai gantinya, anak-anak di daerah non-sentra sapi perah akan menerima alternatif seperti telur atau daun kelor untuk memenuhi kebutuhan protein dan kalsium.
Keputusan ini memang terlihat pragmatis, tetapi memunculkan pertanyaan mendasar:
Apakah pendekatan ini benar-benar memastikan standar gizi yang setara di seluruh Indonesia?
Potensi Lokal vs. Kesenjangan Nutrisi
Mengutamakan sumber daya lokal seperti telur dan daun kelor di daerah non-sentra sapi perah adalah langkah yang logis dari segi efisiensi logistik.
Baca juga: Anggaran Makan Bergizi Gratis Dipangkas, Anggota DPR Minta Pemerintah Tinjau Ulang
Namun, harus diakui bahwa tidak semua alternatif memiliki nilai gizi yang sebanding dengan susu.
Susu, selain menjadi sumber protein, juga kaya akan kalsium, vitamin D, dan nutrisi penting lainnya yang sulit ditemukan dalam satu bahan pangan pengganti.
Baca juga: LKPP Dorong UMKM dan BUMDes Terlibat Program Makan Bergizi Gratis 2025
Jika program ini hanya fokus pada kepraktisan tanpa memastikan pemerataan standar gizi, maka ada risiko menciptakan kesenjangan nutrisi antara anak-anak di daerah sentra peternakan dan daerah lainnya.
Bagaimana pemerintah memastikan bahwa anak-anak yang tidak mendapat susu tetap memperoleh kualitas gizi yang setara?
Logistik atau Kompromi?
Argumen bahwa logistik menjadi hambatan utama untuk distribusi susu ke daerah-daerah tertentu tentu bisa dimaklumi.
Namun, dengan perkembangan teknologi rantai pasok dan inovasi distribusi pangan saat ini, alasan ini terasa kurang kuat.
Mengapa tidak mencoba menjalin kemitraan dengan pelaku usaha lokal atau koperasi untuk menjamin pasokan susu?
Atau mungkin, menciptakan produk susu olahan dengan masa simpan lebih lama sehingga distribusi menjadi lebih fleksibel?
Kepentingan Jangka Panjang
Selain fokus pada distribusi, pemerintah juga perlu memikirkan keberlanjutan program ini.
Apakah MBG hanya akan menjadi program temporer atau bisa menjadi bagian dari kebijakan jangka panjang?
Baca juga: Pemkot Bandung Apresiasi Uji Coba Program Makan Bergizi Gratis oleh GoTo
Lebih jauh lagi, bagaimana mekanisme evaluasi terhadap dampak program ini pada peningkatan kualitas gizi anak-anak di daerah-daerah target?
Di tengah harapan besar terhadap program MBG, pemerintah perlu memastikan bahwa tidak ada anak yang menjadi "korban kompromi" hanya karena keterbatasan logistik atau ketiadaan sentra produksi.
Setiap anak berhak mendapatkan kualitas gizi terbaik, tanpa terkecuali.
Langkah inovatif dan pendekatan kolaboratif dengan memanfaatkan potensi lokal, teknologi, dan dukungan sektor swasta harus menjadi prioritas dalam menjalankan program ini.
Jika tidak, program yang dirancang untuk menjadi solusi justru berpotensi memperlebar kesenjangan.
Pada akhirnya, keberhasilan MBG tidak hanya diukur dari jumlah penerima manfaat, tetapi juga dari sejauh mana program ini mampu menciptakan generasi yang sehat, cerdas, dan siap membawa Indonesia menuju masa depan emas di tahun 2045. (SG-2)