Soko Bisnis

Kampung Nastar, Gang Kecil Penghasil Puluhan Ribu Toples Kue Beromset Ratusan Juta Rupiah

Pelaku usaha di Kampung Nastar terbilang kecil, namun bisa melibatkan ratusan tenaga kerja, dan itu sangat berdampak pada peningkatan pendapatan warga.

By Rosmery C Sihombing  | Sokoguru.Id
16 Maret 2025

Pemberian nama Kampung Nastar baru pada 2023, namun UMKM yang memproduksi nastar dan jenis kue kering lainnya sejak 1998. (Dok. Sokoguru/Rosmery)

SOKOGURU- Nama Kampung Nastar yang terkenal dengan produksi kue kering nastarnya sudah tidak asing di telinga masyarakat Kota Tangerang, mungkin juga bagi sebagian daerah di luar kota itu.

Pasalnya, Kampung Nastar dikenal karena di gang kecil itulah diproduksi puluhan ribu toples kue kering dengan omset ratusan juta rupiah.

Sebetulnya, sebutan nama Kampung Nastar baru diberikan pada 2023, yakni ketika program dari Pemerintah Kota Tangerang melalui dari Dinas Lingkungan Hidup Kota Tangerang terkait profil kampung tematik.  

Warga pun memilih nama Kampung Nastar, karena di daerah itu banyak pembuat nastar berskala industri rumahan.

Sementara pembuatan kue kering nastar yang dilakukan di daerah itu sudah ada sejak 1995 dan semakin marak mulai 1998.

Untuk mencapai Kampung Nastar yang terletak di Jalan H. Unus RT 05, RW 01, Larangan Utara, Kecamatan Larangan, Kota Tangerang, Banten, tidaklah sulit.

Dari jalan raya  hanya sekitar 500 meter, berada di sisi kiri jalan, pendatang akan memasuki gapura bertuliskan Kampung Nastar. Begitu masuk menyusuri gang kecil menuju rumah Ketua RT 05, Sumadi, Sokoguru sudah mencium aroma harumnya cookies dan melewati  beberapa rumah pembuat nastar.

Di RW 01 itu  hingga kini terdapat UMKM kue kering yang masih aktif yakni Nuni Cookies, Max Amazing Cookies, Mysha Cookies, Razaqqu Cookies, Marbel Bintang Cookies, Botisha Cookies, Ayla Azzahra Cookies, Kue Ibu Cookies, Samara Saras Cookies, dan Kue Aura Cookies.

Menurut Sumadi, di RW 01 ada  11 Pelaku usaha home industry (industri rumahan kue kering nastar, yakni di RT 05 dan RT 02

“Di RT 05 saja ada 6, sisanya di RT 02,” ujarnya yang juga sebagai koordinator pelaku usaha nastar di RT 05, pekan lalu.

Selain sebagai koordinator, istri  Sumadi bernama Sri Mulyani, 55, juga memproduksi nastar dengan nama Mysha Cookies. 

Baca juga: Bogasari Latih UKM Kampung Nastar Ciptakan Variasi Produk dan Tingkatkan Penjualan

Saat ditemui di rumahnya, Mulyani terlihat sibuk mendampingi tujuh karyawannya. Ada yang membuat nastar, memasukkan ke dalam toples dan memasukkan toples-toples berisi kue ke dalam kardus. Mulyani sendiri  mengawasi oven yang sedang memanggang kue.

Di bangunan berlantai dua itu terlihat lengang. Hanya Mulyani dan karyawannya sibuk membentuk bulatan-bulatan kecil adonan nastar. Di teras depan terdapat dua oven sedang dan di ruang utama yang agak luas terdapat sebuah oven lebih besar.

Ibu dua anak dan dua cucu itu mengaku memulai usahanya sejak 2014.

“Tadinya saya di RT 02. Baru pindah ke RT 05 pada 2010. Empat tahun kemudian saya baru coba bikin nastar. Awal pindah ke sini masih kosong belum sepadat ini rumah-rumahnya. Pokoknya masih becek,” ujarnya. 

 

Baca juga: Resep Nastar Lembut, Lumer dengan Takaran Satu Kilo Tepung Cocok untuk Ide Usaha UMKM Saat Ramadhan

Jualan di kantor suami

Mulyani memulai usahanya dengan 3 kg tepung terigu dan 2 kg mentega blueband serta oven listrik untuk memanggang. Kala itu ia mulai membuat kue beberapa hari sebelum lebaran lalu menjualnya ke  kantor suami.

Seiring waktu, usahanya pun berkembang. Ia tidak lagi membuat kue menjelang lebaran saja, tetapi setiap hari. Adonan yang semula hanya 3 kg terigu, 2 kg mentega dan beberapa butir telur, kini meningkat menjadi 30 kg tepung terigu, 20 kg mentega dan 12 kg telur, serta menghabiskan 3.500 buah nanas untuk selai isian nastar (stok dua bulan).

“Tetapi itu kalau mendekati puasa dan lebaran saja, atau hari raya keagamaan lain. Kalau di luar hari itu tidak banyak, tergantung pesanan individu atau reseller,” jelas Mulyani. 

Dari adonan sebanyak itu, ia bisa menghasilkan 140 toples per hari yang terdiri dari jenis nastar selai nanas, nastar keju, putri salju, kastengel, lidah kucing, cookies seperti goodtime, sagu, dan lainnya.

“Patokannya 1 kg menghasilkan 7 toples. Tapi kalau reseller pesannya cuma satu jenis, produksi kita bisa 150 - 200-an toples setiap harinya,” imbuhnya.  

Adapun untuk pemasaran produknya, Sri dibantu kedua putrinya, Novita Aryanti dan Kiki Yunita Pratiwi. Dua putrinya itu berbagi tugas, yang satu menjual lewat marketplace Shopee, Tokopedia dan yang satunya  menjual ke reseller.

“Dari saya per toplesnya Rp55 ribu. Reseller datang dari mana-mana, ada yang dari Cempaka Putih, Tomang, Grogol, dan lainnya. Terserah mereka mau jual berapa,” ujarnya.

 

Sri Mulyani pendiri Mysha Cookies. (Dok. Sokoguru/ Rosmery)

 

Ketika ditanya saat kapan pemesanan booming,  Mulyani  yang kini memiliki 12 karyawan mengaku saat pandemi covid-19 justru omsetnya naik lewat penjualan online.

“Waktu itu pesanan banyak, mungkin karena banyak yang bekerja dari rumah ya,” jelasnya.

Mulyani juga menyampaikan tahun ini usahanya turut terdampak akibat kebijakan dari pemerintah yang melarang kementerian/ lembaga mengadakan rapat-rapat di Hotel. Akibatnya, ia harus kehilangan order sangat signifikan.

Baca juga: Peluang Usaha Lebaran! Nastar Cake, Tren Baru UMKM Kue Kering Jadi Bolu Lembut

Biasanya, setiap lebaran hotel-hotel bisa pesan 10 ribu toples. Kini cuma 5% dari jumlah itu. Bahkan 1000 toples yang sempat dibuat terpaksa ia dijual lewat TikTok.

“Hotel-hotel banyak yang ngebatalin. Sempat ada yang pesan 7000 toples, dan saya baru buat 1000 toples. Terpaksa saya jualin, dibuat ukuran Rp100 ribu untuk tiga toples di TikTok. Untung saya belum bikin. Biasanya tanggal-tanggal segini sudah penuh,” ujarnya sambil menunjuk sebuah ruang di atas.

Biasanya, Mulyani  rutin mendapat pesanan dari Hotel Mahakam dan Santika.

Ketika ditanya harapannya ke depan, Sri mengaku ingin usahanya lebih besar, apalagi dua putrinya mau terlibat membantu usahanya. Selain itu, jika produksinya semakin besar tentu juga memberi pekerjaan pada ibu-ibu di lingkungannya.

Untuk itulah, Mulyani baru-baru ini membeli oven yang agak canggih  Chefprimax seharga Rp19 juta.

“Kalau oven yang di luar harganya Rp5 jutaan. Dari segi biaya produksi jatuhnya oven Chefprimax lebih murah, bisa disambi kerjaan lain, tidak perlu ditungguin. Selain itu aroma kue lebih dapat, karena tidak keluar. Cuma, ya itu karena serba digital kita harus hati-hati. Kemarin ada gangguan biaya servisnya lumayan juga,” tambah Mulyani.

Ia juga berharap harga-harga bahan kue stabil, seperti telur dan terigu. Menurutnya saat ini terigu lumayan naik.

“Harapan ke depan semoga bahan-bahan pokok pembuatan kue nastar jangan terlalu mahal sehingga bisa terjangkau untuk pengembangan usaha,”  tambahnya.

Terkait upah pekerja, Sri menyebut angka Rp100 ribu per hari, dan khusus untuk yang pegang oven Rp125 ribu per hari. Upah tersebut hampir sama di semua pelaku usaha kue nastar di RT 05. Selain upah, setiap pekerja juga mendapat makan, kopi atau teh dan makanan cemilan.

 

Sejak tahun 2000

Seusai mewawancarai Mulyani atau Pak RT 05, Sokoguru pun bertandang ke pembuat nastar yang lebih lama di kampung tersebut, yakni  Max Amazing Cookies yang didirikan oleh Muktar Sitorus,61 dan Sri Kusmiati,60. 

Pasangan suami istri itu sudah memulai usaha nastar sejak tahun 2.000. Memasuki tempat usaha Max Amazing Cookies yang letaknya tidak jauh dari gapura, tampak penuh sesak orang.

Mereka adalah para reseller yang akan memesan atau mengambil kue-kue pesanan mereka. Di  tempat usaha Muktar terlihat hiruk pikuk manusia. Di ruang yang tidak terlalu luas itu terdapat 28 karyawan yang sibuk dengan tugas masing-masing. 

Ada yang membuat bulatan-bulatan kecil nastar, mengoles cokelat, memasukkan kue yang sudah matang ke toples, memasukkan toples ke kardus, menerima telepon dan mencatat jumlah pemesanan, dan melangsungkan live penjualan di TikTok.

Bisa dibayangkan kesibukan siang itu, sampai-sampai Muktar dan Sri Kusmiati hampir tidak ada waktu melayani wawancara Sokoguru. Wajar memang, selama 25 tahun menjalani usaha, Max Amazing memiliki ratusan reseller. Jadi, ia harus melayani pelanggan tetapnya. 

Untuk memenuhi permintaan ratusan resellernya Max Amazing  menghabiskan 100 kg terigu, 50 kg mentega blueband, 30 kg telur, dan ribuan buah nenas untuk selai. Bahan baku tersebut  harus diolah untuk memproduksi ribuan toples kue setiap harinya.

“Ini juga sudah berkurang, karena pesanan dari hotel-hotel kosong untuk lebaran tahun ini,” ujar Muktar yang baru enam tahun lalu pensiun dari Hotel Sultan.

 

Menurutnya, ia sudah memproduksi kue sebelum bulan puasa. Dengan tiga oven yang diletakkan di rumah sebelahnya, para pekerjanya mulai memanggang sejak pukul 04.00 WIB hingga sore hari.

Para karyawan Muktar berasal dari tetangga di sekitar rumahnya. Bahkan ada yang sudah ikut bersamanya selama 18 tahun.

Fani,55, misalnya, sudah membantunya sejak 2006. “Saya sudah 19 tahun kerja di sini, termasuk yang merintis lah,” ujar ibu dua anak itu. 


 

Suasana di Max Amazing Cookies, membuat kue sambil berjualan live di TikTok. (Dok. Sokoguru/Rosmery)

 

Kemudian ada Ela yang juga sudah bekerja selama 18 tahun. Kedua ibu itu ahli dalam mencetak aneka jenis kue, mulai dari nastar, kastengel, lidah kucing, dan bentuk lainnya.

Kemudian ada Linawati, 43, khusus membuat adonan yang  baru empat bergabung serta Yuni, 43.

“Kalau buat adonan harus pakai hati dan perasaan biar mantab,” ujarnya.

Semua karyawan tersebut, menurut Muktar, bekerja dari subuh hingga pukul 17.00 dengan upah Rp100 ribu per hari. Mereka mendapat waktu istirahat dan makan.

Seperti halnya Mysha Cookie, Muktar juga mengakui ikut terdampak akibat kebijakan efisiensi pemerintah yang melarang rapat-rapat di hotel. Sepinya tamu-tamu di hotel juga membawa berkurangnya order yang masuk ke UMKMnya. (baca selengkapnya kisah lengkap Max Amazing Cookies di rubrik Inspirasi) 

Begitulah kesibukan yang terlihat di Kampung Nastar tiap kali menyambut lebaran. Pemandangan serupa, menurut Pak RT Sumadi, kurang lebih sama, terutama bagi pelaku usaha yang memiliki reseller banyak.

“Tetapi ada juga  yang membuat kue dikerjakan sendiri, tanpa ada karyawan. Pokoknya pembuat kue di sini sudah punya cara dan pelanggannya masing-masing,” ujarnya.

Bahkan,  ada yang tadinya karyawan, kemudian menabung setelah uangnya cukup membeli peralatan lalu mencoba membuat kue sendiri dan menjualnya. 

 

Dampak sosial ekonomi ke lingkungan 

Menurut Ketua RW 01, Irwan HM, terdapat 5 RT di wilayahnya, namun para pelaku usaha kue kering nastar terdapat di RT 05 dan 02. Total ada 11 pelaku UMM an semuanya  berskala industri rumahan.

Dari segi jumlah, menurutnya,  pelaku usaha di Kampung Nastar masih kecil. Namun bisa melibatkan tenaga kerja hingga ratusan. Rata-rata setiap pelaku usaha memiliki tiga-sampai 28  tenaga kerja, dan itu sangat berdampak secara sosial ekonomi.

“Walaupun jumlah pelaku usahanya masih kecil, tetapi dampaknya besar. Ibu bisa lihat begitu masuk tadi, wilayah kami tertata rapih,” ujar Irwan.

 

Ketua RT 05/RW 01, Sumadi. (Dok.Sokoguru/Rosmery)

 

Irwan mengatakan, kampung-kampung tematik memberikan banyak manfaat dan berdampak positif terhadap warga kampung tersebut. Adapun manfaat yang diperoleh sarana dan prasarana lingkungan kampung menjadi lebih tertata.

“Meningkatkan ekonomi warga, pendapatan keluarga sehingga kesejahteraan masyarakat menjadi lebih baik dari sebelumnya,” imbuhnya.

Selain itu, sambung Irwan, kampung tematik juga memberi pengaruh positif terhadap mindset warga sehingga mendorong ide-ide kreatif berkembang.

“Selain dikenal dalam pembuatan nastar, kastengel, lidah kucing, dan putri salju, sebetulnya di Kampung Nastar juga ada UMKM yang memproduksi tas dan roti isi. Cuma yang lebih dikenal kue nastarnya, pungkas Irwan.

Hal itu dibenarkan oleh Muktar. Menurutnya, di tempat ia berusaha yakni RT 05 yang berpenduduk 300 jiwa lebih, hampir tidak ada ibu-ibu menganggur. Dan itu tentu membantu perekonomian keluarga dengan upah yang mereka peroleh Rp100 ribu per hari.

Selain itu, para pelaku usaha di Kampung Nastar cukup guyub, tidak bersaing tetapi saling mendukung.

“Misalnya, di tempat saya kehabisan stok nastar, saya akan tanya ke pelaku usaha lain apakah masih ada, lalu pelanggan kita arahkan ke sana,” ujarnya yang sang istri menjadi ketua paguyuban pelaku usaha nastar di RT 05. 

Sumadi pun menambahkan,  dengan 11 pelaku usaha yang ada di Kampung Nastar sedikitnya peredaran uang yang masuk Rp200-an juta lebih setiap bulannya.

 

Pelatihan dari Bogasari

Setelah mendapat julukan kampung tematik nastar RW 01, Kampung Nastar pun menarik perhatian pihak luar sehingga banyak diekspos media massa.

Hal itu tidak luput dari perhatian perusahaan tepung terigu Bogasari, apalagi kegiatan produksi para pelaku kue kering itu menggunakan bahan baku utama terigu.

Untuk itu, sejak tahun lalu UMKM Kampung Nastar masuk dalam program Corporate Social Responsibility (CSR) atau tanggungjawab sosial dan lingkungan (TJSL) Bogasari. 

Salah satu kegiatan yang dilakukan dengan memberi pelatihan menciptakan variasi produk serta meningkatkan penjualan.  Bahkan gapura pintu masuk gang yang bertuliskan Kampung Nastar itu baru dibangun Bogasari tahun ini untuk membantu promosi UMKM di RW 01 ke publik. Itulah sebabnya di atas kata Kampung Nastar terdapat plang Bogasari.

Pada Juni 2025, Bogasari kembali akan memberikan workshop edukasi dengan tema soal perizinan dan strategi pengembangan bisinis.

Manajer Small Medium Enterprise (SME) dan Bogasari Baking Center (BBC) Bogasari, Beatrix Soedibyo, mengatakan, pihaknya berharap Kampung Nastar  bisa memverifikasi produk cookies mereka.

“Sebabnya, saat ini UKM Kampung Nastar hanya memproduksi produk  Nastar untuk segmen menengah ke bawah (middle low).  Dan dengan adanya pelatihan hands on dari Bogasari tahun lalu  diharapkan para UKM di sana bisa menghasilkan produk cookies lebih bervariasi baik yang regular maupun premium, produk roti dan snack lainnya,” tutupnya. (Ros/SG-1)