SOKOGURU, BANDUNG: Dunia pendidikan Indonesia kembali diguncang oleh temuan memprihatinkan.
Lebih dari 400 siswa tingkat SMP di Kabupaten Buleleng, Bali, tercatat belum mampu membaca dan mengeja.
Data yang dirilis Dewan Pendidikan Kabupaten Buleleng ini memicu respons keras dari Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian, yang menyebut kondisi tersebut sebagai “peringatan serius” bagi masa depan pendidikan nasional.
Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian. (Ist.DPR RI)
“Ini bukan sekadar anomali lokal, tapi sinyal bahaya yang mencerminkan keretakan sistemik dalam pendidikan kita,” kata Hetifah.
Baca juga: Creavill Bandung Membangun Kreativitas dan Kemandirian Lewat Literasi
“Ketika ratusan anak di jenjang SMP belum bisa membaca, berarti ada mata rantai yang patah sejak pendidikan dasar,” tegas Hetifah sebagaimana dilansir situs DPR RI, baru-baru ini.
Cermin Lemahnya Asesmen Literasi
Menurut politikus Partai Golkar ini, kegagalan tersebut bukan hanya soal minimnya kemampuan siswa, tapi juga mencerminkan lemahnya asesmen literasi, kurangnya deteksi dini, dan pendekatan pembelajaran yang belum berpihak pada kebutuhan peserta didik.
Potret Kegagalan yang Bisa Terjadi di Mana Saja
Hetifah menegaskan bahwa kasus Buleleng bisa jadi hanya puncak gunung es.
Dengan belum adanya pemetaan literasi yang komprehensif dan minimnya pelaporan dari daerah, kemungkinan besar situasi serupa juga terjadi di wilayah lain tanpa terdeteksi.
Baca juga: Festival Literasi Jabar (Viral) 2024 Berjalan Sukses dan Dapat Apresiasi Tinggi
Ia pun mendesak pemerintah pusat dan daerah untuk segera melakukan evaluasi nasional atas capaian literasi siswa, mencakup sekolah formal, madrasah, dan pendidikan non-formal.
“Kita perlu pendekatan yang lebih personal yakni pembelajaran berdiferensiasi, intervensi psikologis, hingga pendampingan khusus bagi siswa yang mengalami hambatan seperti disleksia,” jelas Hetifah.
“Dan yang tak kalah penting, regulasi soal kewajiban naik kelas harus dikaji ulang. Jangan sampai hanya karena ingin menaikkan angka kelulusan, kita mengabaikan kenyataan bahwa anak-anak belum menguasai kemampuan dasar,” terangnya.
Momentum Perubahan atau Sekadar Retorika?
Kasus ini, menurut Hetifah, harus menjadi momen refleksi nasional untuk mengakui bahwa ada sesuatu yang keliru dalam sistem pendidikan.
Ia menekankan perlunya kolaborasi lintas sektor—mulai dari guru, psikolog, kementerian, hingga DPR—untuk menyusun langkah strategis percepatan literasi yang menyentuh akar permasalahan.
Baca juga: Festival Literasi Jakarta 2024 Usung Semangat Bangun Indonesia Melalui Budaya Baca
“Ini bukan sekadar cerita miris dari Buleleng. Ini potret masa depan pendidikan Indonesia,” ujar Hetifah.
“Dan jika kita tak segera bertindak, kita akan terus memproduksi generasi yang tertinggal, bukan karena kurang cerdas, tapi karena sistem gagal mendampingi mereka sejak dini,” tegas Hetifah.
Komisi X DPR RI, ujarnya, siap mendorong sinergi kebijakan yang menyentuh langsung ke sekolah-sekolah yang selama ini luput dari perhatian.
Sebab, literasi bukanlah kemewahan, melainkan hak dasar setiap anak Indonesia. (SG-2)