SOKOGURU, JAKARTA — Anggota Komisi V DPR RI, Rofik Hananto, menyatakan bahwa insiden tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya di Selat Bali bukan sekadar bencana transportasi laut, melainkan menjadi bukti nyata kegagalan sistem pengawasan keselamatan pelayaran nasional.
"Tragedi berlangsung sangat cepat dan nyaris tanpa prosedur keselamatan yang layak.” jelas ungkap Rofik dalam pernyataan tertulis yang dikutip Parlementaria, Minggu (6/7/2025).
“Tidak ada pengarahan keselamatan (safety induction), tidak ada informasi lokasi jaket pelampung, jalur evakuasi, atau sekoci. Sebagian besar korban selamat hanya karena menemukan jaket pelampung yang tercecer di dek kapal," ungkap Rofik.
Baca juga: Wakil Ketua DPR RI Dorong Perlindungan BPJS Ketenagakerjaan bagi Guru Ngaji hingga Petani
Ia menilai bahwa kondisi tersebut merupakan pelanggaran serius terhadap Pasal 117 UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, yang tetap berlaku meskipun telah mengalami revisi melalui UU No. 66 Tahun 2024.
"Keselamatan adalah harga mati dalam setiap angkutan penyeberangan," tegas Rofik.
Anggota Komisi V DPR RI, Rofik Hananto. (Dok.DPR RI)
Lebih lanjut, Rofik mengungkapkan adanya korban yang tidak tercatat dalam manifes penumpang resmi, yang mengindikasikan kemungkinan adanya kelebihan muatan serta kelalaian dalam pencatatan administrasi.
Baca juga:DPR Apresiasi Wuling: Investasi USD 100 Juta dan Penjualan EV Tumbuh Pesat di ASEAN
"Ini merupakan pelanggaran mutlak terhadap Pasal 137 UU No. 17 Tahun 2008, yang menyatakan hanya penumpang terdaftar dalam manifes yang sah untuk diangkut,” paparnya.
“Jika tidak terdaftar dan terjadi kecelakaan, operator kapal harus bertanggung jawab penuh secara hukum," kata politikus Fraksi Partai Golkar ini.
Kasus Kapal Tenggelam Kerap Berulang
Rofik juga mengingatkan bahwa kasus semacam ini bukanlah yang pertama.
Baca juga: Pajak UMKM Disorot DPR, Jangan Tambah Beban Pedagang Kecil di Tengah Ekonomi Sulit
Ia menyinggung insiden KMP Yunicee pada 2021, yang menunjukkan pola serupa: kelebihan muatan, manifes tak akurat, dan minimnya alat keselamatan yang berfungsi.
“Kalau tidak ada perbaikan sistemik, tragedi seperti ini bisa terus berulang. Lemahnya pengawasan, birokrasi yang permisif, dan operator yang abai menciptakan rantai kelalaian mematikan,” ujarnya.
Karena itu, Rofik mendesak investigasi menyeluruh oleh KNKT dan Kementerian Perhubungan untuk mengungkap penyebab teknis tenggelamnya kapal, termasuk kemungkinan kerusakan struktural, kelebihan beban, dan pelanggaran lainnya.
Baca juga: Air Mata Legislator Tumpah, DPR Desak Fadli Zon Minta Maaf soal Pernyataan Pemerkosaan 1998
Ia juga mendorong dilakukan audit nasional seluruh moda transportasi penyeberangan, serta digitalisasi dan integrasi manifes penumpang dengan sistem identitas nasional (NIK) untuk transparansi dan akurasi data.
“Perlu ada penegakan hukum tanpa kompromi terhadap semua pihak yang lalai—baik syahbandar, nakhoda, operator kapal—serta revisi aturan teknis agar safety induction menjadi standar wajib yang diawasi langsung sebelum kapal berangkat,” pungkasnya.(*)