SOKOGURU - Jepang tengah menghadapi krisis pangan yang mengejutkan.
Negara maju yang dikenal disiplin ini justru dilanda kelangkaan beras, hingga warganya rela antri sejak subuh untuk mendapatkan beras murah berkualitas rendah.
Sementara itu, Indonesia justru sedang menikmati surplus beras jutaan ton.
Dalam video yang diunggah channel YouTube Benninx, terungkap bahwa antrean panjang pembelian beras murah terjadi di Kota Matsudo, Jepang.
Beras dengan harga sekitar Rp40.000 per kilogram itu ludes diburu warga, meskipun kualitasnya sudah tergolong beras afkir yang seharusnya hanya layak untuk pakan ternak.
Harga beras di Jepang kini telah meroket hingga Rp100.000 per kilogram. Ironisnya, pemerintah Jepang justru dianggap ikut berkontribusi dalam memperparah situasi akibat kebijakan yang terlalu protektif dan lamban dalam mengantisipasi krisis.
Benninx mengungkapkan lima penyebab utama krisis beras di Jepang. Pertama, dampak pemanasan global yang mengganggu hasil panen.
Kedua, regenerasi petani yang macet, di mana mayoritas petani berusia di atas 70 tahun. Ketiga, alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan industri dan perumahan.
Keempat, regulasi impor yang sangat ketat, sehingga Jepang kesulitan mendapatkan pasokan beras dari luar negeri. Kelima, kebijakan pemerintah yang dinilai tidak responsif.
Krisis ini memaksa Jepang untuk pertama kalinya dalam 25 tahun mengimpor beras dari Korea Selatan, negara yang selama ini menjadi rival.
Namun, jumlah impornya pun minim, hanya sekitar dua ton, yang tentu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan rakyat Jepang.
Menteri Pertanian Jepang sempat menjadi sorotan tajam karena pernyataannya yang dinilai tidak sensitif.
Ia mengaku tidak pernah membeli beras karena selalu mendapat kiriman dari relawan. Pernyataan ini memicu kemarahan publik dan akhirnya sang menteri mengundurkan diri dari jabatannya.
Di sisi lain, Indonesia justru tengah menikmati kelebihan stok beras. Data dari Departemen Pertanian Amerika Serikat menyebutkan produksi beras Indonesia diperkirakan mencapai 34,6 juta ton tahun ini, dengan kebutuhan konsumsi sekitar 31 juta ton. Artinya, Indonesia mengalami surplus 3,6 juta ton beras.
Benninx menyebut, Indonesia pantas berbangga atas pencapaian swasembada beras, terlebih saat negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Filipina justru mengalami krisis. Bahkan Malaysia disebut telah meminta pasokan beras dari Indonesia.
Dengan kondisi ini, muncul pertanyaan menarik: Haruskah Indonesia mengekspor berasnya untuk membantu negara lain seperti Jepang, atau justru menahan stok sebagai langkah antisipasi krisis global yang bisa memburuk di masa depan?
Situasi ini seakan membalikkan peran. Negara maju kini terpuruk dalam krisis pangan, sementara Indonesia justru menjadi negara yang mampu menjaga ketahanan pangannya.
Bagaimana menurut Anda? Apakah Indonesia sudah saatnya menjadi penolong dunia atau justru harus menjaga aset pangannya sendiri? Tulis pendapat Anda di kolom komentar. (*)