Soko Berita

DPR Soroti Etika Profesi Dokter: Tutup-Tutupi Kesalahan Bisa Bahayakan Pasien

Anggota Komisi IX DPR RI, Irma Suryani, kritik keras budaya tutup-menutupi kesalahan dalam profesi dokter dan soroti lemahnya tata kelola pendidikan kedokteran.

By Deri Dahuri  | Sokoguru.Id
02 Mei 2025

Anggota Komisi IX DPR RI, Irma Suryani, melontarkan kritik pedas terhadap sistem pendidikan dan etika profesi dokter di Indonesia. (Dok.DPR RI)

SOKOGURU, JAKARTA – Anggota Komisi IX DPR RI, Irma Suryani, melontarkan kritik pedas terhadap sistem pendidikan dan etika profesi dokter di Indonesia. 

Dalam rapat kerja bersama Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pendidikan Tinggi dan Sains dan Teknologi (Kemendiktiristek), Irma menyoroti banyaknya masalah mendasar, mulai dari budaya saling tutup-menutupi kesalahan dokter, lemahnya koordinasi kelembagaan, hingga sulitnya uji kompetensi lulusan kedokteran.

Dalam forum yang dihadiri oleh Konsil Kesehatan Indonesia (KKI), Majelis Disiplin Profesi (MDP), Kolegium, Persi, AIPKI, AIPKIND, dan AIPNI itu, Irma menyebut bahwa praktik menutupi kesalahan antar dokter sangat berbahaya.

Baca jugaDPR Desak Proses Hukum Kasus RS Hasan Sadikin, Dorong Dekan Fakultas Kedokteran Mundur

"Paradigma elitis dokter yang saling melindungi justru membuat kasus-kasus tidak pernah tuntas. Alasannya agar masyarakat tidak hilang kepercayaan, tapi justru itu lebih membahayakan publik," tegas Irma saat rapat di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta Rabu 30 Apriul 2025.

Harus Ikuti Uji Kompetensi Hingga 10 Kali Sebelum Lulus

Ia juga mengungkap ironi dalam pendidikan kedokteran. Banyak lulusan universitas ternama seperti UGM dan UI yang harus mengikuti uji kompetensi nasional hingga 10 kali sebelum lulus. 

Menurutnya, hal ini menunjukkan lemahnya koordinasi antara Kolegium, Konsil, dan institusi pendidikan.

Baca juga: Geger Dokter Kandungan Cabuli Pasien di Garut, DPR Desak Polisi Bertindak Cepat!

Irma bahkan menuntut Ditjen Dikti untuk lebih selektif dalam memberi izin pendirian fakultas kedokteran, dan menghindari membiarkan kampus-kampus abal-abal tumbuh subur.

"Kalau sekolahnya tidak berkualitas, bagaimana bisa lulusannya dipercaya? Jangan sampai tenaga medis kita tidak diakui di luar negeri hanya karena kualitasnya dipertanyakan," ujarnya dalam keterangan pers, Kamis 1 Mei 2024. 

Baca juga: DPR Desak Pemerintah Perketat Seleksi Dokter Spesialis Usai Kasus di Bandung

Tak hanya itu, Irma juga mendukung penuh usulan pelaksanaan tes kesehatan jiwa berkala untuk dokter, demi menjamin keselamatan pasien.

"Dokter harus sehat, baik fisik maupun mental. Kalau tidak, bagaimana bisa menyehatkan pasien?" tambahnya.

Ia pun menuntut pemerintah memberi perhatian lebih kepada peserta pendidikan dokter spesialis (PPDS), termasuk pemberian kompensasi dan kontrak kerja yang layak.

"PPDS itu bekerja keras di rumah sakit, tapi tidak diberi hak yang sepadan. Sudah saatnya mereka dihargai, bukan hanya diminta kewajibannya," ujarnya.

Sebagai langkah konkret, Irma menyarankan Kemenkes untuk membuat sistem kontrak kerja yang mengikat antara rumah sakit dan PPDS, guna menjaga kedisiplinan dan etika kerja.

"Kalau ada insentif dan kontrak, maka PPDS harus patuh pada kode etik yang berlaku. Ini bisa jadi kontrol etik yang kuat."

Pernyataan Irma ini membuka ruang diskusi besar tentang reformasi sistem kedokteran di Indonesia—dari hulu hingga hilir, dari pendidikan hingga praktik di lapangan. (*)