SOKOGURU, JAKARTA — Masalah serius tengah menghantui dunia pendidikan Indonesia. Hingga pertengahan 2025, tercatat ada 50.971 satuan pendidikan di Indonesia yang belum memiliki kepala sekolah.
Data ini diungkap oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) melalui Direktorat Jenderal Guru, Tenaga Kependidikan, dan Pendidikan Guru (Ditjen GTKPG).
Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua DPR RI, Cucun Ahmad Syamsurijal, mendorong sinergi konkret antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah demi segera menuntaskan kekosongan jabatan penting ini.
Baca juga: Gubernur DKI Pramono Anung Pastikan KJP Tetap Jalan untuk Siswa Sekolah Rakyat
"Ini bukan masalah baru, tapi tidak mudah diselesaikan karena ada faktor otonomi daerah,” kata Cucun.
Wakil Ketua DPR RI, Cucun Ahmad Syamsurijal. (Dok.DPR RI)
Pengangkatan kepala sekolah itu kewenangannya ada di bupati, wali kota, dan gubernur," ujar Cucun kepada Parlementaria di Gedung Nusantara I, Senayan, Kamis (26/6/2025).
Tumpang Tindih Kewenangan, Komunikasi Jadi Kunci
Cucun menegaskan bahwa meskipun anggaran pendidikan diperjuangkan di tingkat pusat, implementasinya tetap berada di tangan pemerintah daerah.
"Anggaran untuk pendidikan kita perjuangkan di DPR, tapi penempatan kepala sekolah sepenuhnya ada di daerah. Jadi sinergi dan komunikasi yang kuat itu kuncinya," jelas legislator dari Fraksi PKB tersebut.
Baca juga: Farhan Sambut Rektor Baru UPI, Siap Gandeng Kembangkan Pendidikan Swasta Bandung!
Aturan Sudah Ada, Tinggal Implementasi
Sebagai langkah awal, Kemendikdasmen telah mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 7 Tahun 2025 yang mengatur mekanisme penugasan guru menjadi kepala sekolah serta masa tugasnya.
Baca juga: Menyongsong Masa Depan: Kesiapan Pendidikan China dalam Cetak Generasi Tangguh di Era Global
Namun, Cucun menilai, aturan saja tidak cukup tanpa keseriusan pelaksanaan di tingkat daerah.
Mengapa Ini Penting?
Kekosongan kepala sekolah berdampak langsung pada kualitas tata kelola sekolah, pengambilan keputusan, dan arah kebijakan pendidikan di tingkat satuan pendidikan.
Jika terus dibiarkan, hal ini dapat mengganggu mutu pendidikan nasional, khususnya di daerah terpencil dan tertinggal. (SG-2) (*)