SOKOGURU, JATINANGOR- Studi Harvest atau uji klinik fase 3 berskala internasional tentang penggunaan rifampisin dosis lebih tinggi untuk pengobatan Meningitis Tb yang dipimpin Universitas Padjadjaran dan Infectious Diseases Institute, Makerere University, Uganda, telah selesai.
Hasil penelitian menunjukkan, dibanding rifampisin dosis standar, penggunaan rifampisin dosis tinggi tidak lebih menyelamatkan pasien Meningitis Tb dari kematian.
Demikian siaran pers Kantor Komunikasi Publik Unpad, Senin, 22 Desember 2025.
Dalam studi yang didanai oleh UK Medical Research Council melalui program Joint Global Health Trials itu, para peneliti Indonesia dari Unpad, Universitas Indonesia (UI), dan Oxford University Clinical Research Unit (OUCRU) Indonesia telah menyelesaikan uji klinik High Dose Oral Rifampicin to Improve Survival from Adult Tuberculous Meningitis (Harvest), suatu uji klinik multisenter terbesar yang pernah dilakukan untuk Meningitis Tuberkulosis (Tb).
Penelitian itu melibatkan institusi riset dari berbagai negara yakni Indonesia, Uganda, Afrika Selatan, Belanda, dan Amerika Serikat.
Sejak 2010, tim peneliti dari Unpad bekerja sama dengan Radboudumc, Belanda, telah melakukan serangkaian penelitian mengeksplorasi penggunaan rifampisin dosis lebih tinggi untuk pengobatan Meningitis Tb yang lebih baik.
Hasil penelitian menunjukkan, dibanding rifampisin dosis standar, penggunaan rifampisin dosis tinggi ternyata tidak lebih menyelamatkan orang dengan Meningitis Tb dari kematian.
Hasil penelitian tersebut telah dipublikasikan pada 18 Desember di New England Journal of Medicine (NEJM), salah satu jurnal kedokteran paling terkemuka di dunia.
Peneliti Utama di Rumah Sakit Hasan Sadikin dan peneliti di Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Unpad, dr. Ahmad Rizal Ganiem, SpS(K), PhD, mengatakan, uji klinik awal yang dilakukan dalam skala lebih kecil (uji klinik fase 2) memperlihatkan, penggunaan rifampisin dosis tinggi berpotensi menyelamatkan nyawa orang yang sakit Meningitis Tb.
Baca juga: Unpad Gandeng PT Kardia Indonesia Bangun Rumah Sakit Pendidikan di Jalan Dipati Ukur Bandung
Hasilnya, sambungnya, sudah dipublikasi di Lancet Infectious Disease pada 2013. Temuan itu telah memicu berbagai penelitian serupa di berbagai penjuru dunia.
Studi Harvest, tambah Ahmad Rizal, merupakan tahap akhir (uji klinik fase 3) dari konfirmasi hasil penelitian sebelumnya. Tujuan dari studi Harvest
untuk menjawab pertanyaan penting, apakah pemberian rifampisin dengan dosis tinggi dapat lebih menyelamatkan orang dengan sakit Meningitis Tb dari kematian (dibanding rifampisin dosis standar)?
“Ada tiga pilar yang menjadi pegangan peniliti dan klinisi untuk memperbaiki luaran penyakit ini,” ujarnya.
Selain memperbaiki cara diagnosis dan mengatasi komplikasi, kata Ahmad Rizal lagi, memberikan antiTb yang tepat waktu dan tepat dosis menjadi suatu hal yang krusial.
Sementara itu, salah satu Peneliti Utama studi multinasional dan multisenter itu, Prof. dr. Rovina Ruslami, SpPD, PhD, mengatakan, Meningitis Tb sering kali tidak terdiagnosis, dan bahkan ketika sudah dikenali, pengobatannya masih belum optimal, dengan angka kematian yang tetap tinggi.
“Dengan memanfaatkan obat Tb yang sudah ada saat ini, mampukah kita mengobati Meningitis Tb dengan lebih baik? Salah satu tantangan utama adalah obat yang digunakan untuk Tb paru tidak mencapai otak secara efektif. Karena itulah uji Harvest sangat penting untuk menghasilkan bukti ilmiah dalam mengobati pasien dengan penyakit yang sangat berat ini,” imbuh peneliti dari Departemen Ilmu Kedokteran Dasar, FK Unpad itu lagi.
Secara keseluruhan, sebanyak 499 pasien Meningitis Tb dewasa direkrut di sembilan rumah sakit di tiga negara, yakni Uganda, Afrika Selatan, dan Indonesia.
Di Indonesia, uji klinik ini dilaksanakan di RS Hasan Sadikin, RS Cibabat, RS Immanuel di Bandung, RS Cipto Mangunkusumo dan RS Polri di Jakarta.
Indonesia berkontribusi sebanyak 193 partisipan penelitian. Sekitar 60% partisipan hidup dengan HIV, dan sebagian besar sudah dalam kondisi berat/kritis saat masuk penelitian.
Seluruh partisipan penelitian menerima rifampisin dosis tinggi (sekitar tiga kali dosis standar) atau dosis standar yang biasa digunakan selama delapan minggu pertama pengobatan, yang ditentukan secara acak.
Selain rifampisin, seluruh partisipan juga mendapatkan obat Tb lainnya serta kortikosteroid sesuai standar pengobatan Meningitis Tb.
Hasil penelitian menunjukkan, dibanding rifampisisn dosis standar, penggunaan rifampisin dosis tinggi tidak lebih menyelamatkan orang dengan Meningitis Tb dari kematian.
Mengecewakan
Setelah enam bulan pengobatan, tidak terdapat perbedaan angka kematian pada kedua kelompok. Hasil itu mengecewakan - tidak hanya tim peneliti Harvest, tetapi juga dunia penelitian Tuberkulosis secara global.
Para peneliti masih perlu bekerja keras lagi untuk menemukan pengobatan Meningitis Tb yang lebih baik. Namun demikian, temuan tersebut telah memberikan bukti jelas dan penting untuk memandu pedoman pengobatan Meningitis Tb secara global, serta mencegah pasien terpapar dosis obat lebih tinggi tanpa manfaat tambahan.
Menanggapi itu, Peneliti Utama di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional (RSUPN) Cipto Mangunkusumo, Dr. Darma Imran, mengatakan, mengetahui apa yang tidak efektif sama pentingnya dengan mengetahui apa yang efektif.
“Hasil ini membantu dokter menghindari terapi yang menambah risiko tanpa manfaat, sekaligus memperkuat dasar ilmiah untuk memperbaiki pelayanan pasien meningitis Tb,” tambah peneliti di Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia itu.I
Lebih dari sekadar hasil klinis, studi Harvest juga menunjukkan kapasitas Indonesia yang semakin kuat dalam menyelenggarakan uji klinis berskala besar berstandar internasional.
Studi Harvest melibatkan berbagai rumah sakit lainnya yang membuktikan bahwa walau RS ini bukan RS pendidikan, namun juga mampu berkontribusi dalam pengembangan ilmu pengetahuan melalui penelitian berskala dan dengan standar internasional.
Kepala Program Riset Penyakit Infeksi Klinis OUCRU Indonesia,Prof. Raph Hamers, mengatakan,“OUCRU Indonesia bangga dapat bekerja bersama rumah sakit, universitas, dan institusi nasional untuk menghasilkan penelitian yang berdampak global.”
Harvest, sambungnya, mencerminkan model kolaborasi dimana penelitian yang digerakkan secara lokal dapat secara langsung mempengaruhi standar perawatan internasional.
Studi Harvest menegaskan Indonesia mampu memimpin dan melaksanakan uji klinik besar berskala internasional (multinasional) dengan kualitas tinggi dengan dampak global, sekaligus berkontribusi dalam pembentukan standar perawatan internasional untuk Meningitis tuberkulosis.
Serang selaput otak
Meningitis Tb adalah penyakit Tb yang menyerang selaput otak dan juga jaringan otak, suatu bentuk penyakit Tb terberat. Penyakit itu umumnya menyerang anak-anak dan orang dewasa muda.
Jika tidak diobati, orang dengan penyakit ini akan meninggal dunia. Dengan pengobatan yang ada saat ini, sekitar satu dari tiga orang pasien akan meninggal dan jika bertahan hidup umumnya mengalami kecacatan.
Salah satu upaya yang perlu dilakukan adalah memberikan pengobatan lebih tepat.
Sampai saat ini, pengobatan Meningitis TB masih mengikuti pola pengobatan Tb paru, baik jenis obat, dosis, dan lama pengobatannya. Padahal lokasi dan organ yang sakit berbeda.
Jaringan otak dilindungi oleh mekanisme khusus yang membuat obat Tb sulit menembus selaput otak untuk sampai ke dalam jaringan otak.
Banyak upaya sudah dilakukan untuk memperbaiki hasil akhir pengobatan, salah satunya adalah dengan meningkatkan dosis obat rifampisin, salah satu obat utama dalam pengobatan Tb.
Peningkatan dosis dimaksudkan untuk membuat lebih banyak obat bisa masuk ke jaringan otak.
Studi Harvest merupakan uji klinik fase 3 berskala internasional, acak, tersamar ganda, menggunakan kontrol plasebo yang dilaksanakan di sembilan rumah sakit di Indonesia (Bandung dan Jakarta), Afrika Selatan (Durban), dan Uganda (Kampala).
Uji klinik ini dilakukan melalui kolaborasi dengan mitra internasional, termasuk Radboudumc, Nejmegen, Belanda dan University of Minnesota di Amerika Serikat.
Studi Harvest dipimpin oleh Prof. Rovina Ruslami dari Universitas Padjadjaran, Bandung, Indonesia, dan Prof. David Meya dari Infectious Diseases Institute, Makerere University, Uganda. (SG-1)