ADA satu kesalahpahaman yang terus diulang para pengusaha ketika bicara soal investor: mengira pendanaan adalah soal meyakinkan orang lain pada mimpi kita.
Padahal, bagi investor, mimpi adalah hal terakhir yang ingin mereka dengar. Mereka tidak sedang mencari kisah inspiratif. Mereka sedang mencari kepastian.
Investor tidak membaca proposal bisnis seperti dosen membaca skripsi. Proposal tebal, slide panjang, dan narasi berlapis justru menjadi alarm pertama bahwa bisnis ini belum siap diuji realitas.
Di ruang presentasi, investor hanya membawa satu pertanyaan di kepala—apa untungnya buat saya. Selebihnya hanyalah noise.
Karena itu, proyeksi keuangan berbasis asumsi hampir selalu berakhir sama: ditolak.
Target penjualan ratusan juta per bulan yang disusun dari perkiraan harga, asumsi volume, dan optimisme pasar tidak punya nilai di mata investor.
Angka-angka seperti itu tidak menunjukkan kekuatan bisnis, justru membuka kelemahannya.
Bandingkan dengan bisnis yang datang membawa fakta. Kontrak yang sudah dikunci, pembeli yang sudah ada, atau klien yang berani membayar di muka.
Angka-angka semacam ini tidak perlu diyakinkan, karena bisa dihitung secara logis.
Risiko tetap ada, tetapi risikonya terukur. Dan investor sangat menyukai risiko yang bisa dihitung.
Masalahnya, banyak pengusaha menolak kenyataan ini. Mereka ingin investor percaya lebih dulu, padahal bisnisnya sendiri belum membuktikan apa pun.
Di sinilah ironi terjadi: pengusaha meminta kepercayaan, sementara ia sendiri masih bertaruh pada asumsi.
Investor pada dasarnya bukan penjudi. Mereka pemburu pengembalian. Logikanya sederhana: modal masuk, usaha berjalan, lalu uang kembali berlipat. Jika pengembalian itu tidak terlihat masuk akal—baik dari arus kas, kontrak, maupun kapasitas produksi—maka pembicaraan selesai, seberapa pun bagus presentasinya.
Yang lebih menarik, ketika bisnis tidak memenuhi ekspektasi, banyak pengusaha justru mengambil jalan pintas yang keliru. Mereka mengganti jenis usaha, pindah sektor, atau mengejar tren baru.
Padahal yang bermasalah bukan usahanya, melainkan cara bisnis itu dijalankan dan dijual.
Mengubah model bisnis memang tidak semenarik membuka usaha baru, tetapi justru di situlah kedewasaan diuji.
Produk bisa sama, pasar tetap, namun strategi penjualan, skema harga, dan pola pertumbuhan harus disesuaikan.
Setiap pasar punya logika sendiri, dan logika itu tidak bisa dipaksa mengikuti ego pemilik usaha.
Pada akhirnya, investor tidak sedang mencari pengusaha paling percaya diri, melainkan yang paling siap. Siap dengan data, siap dengan kepastian, dan siap diuji.
Dan bagi pengusaha, memahami cara berpikir investor memang menyakitkan. Tetapi bisnis yang tidak siap disakiti oleh kenyataan, memang belum layak dibiayai. (*)