Soko Lokal

Masyarakat Tanjungpakis Olah Sampah Jadi Rupiah, Kolaborasi Masyarakat dengan Pertamina

Masyarakat Desa Tanjungpakis merasa senang, karena dari perilaku buang sampah pada tempatnya ternyata bisa menghasilkan uang sambil mengurangi pencemaran laut.

By Rosmery C Sihombing  | Sokoguru.Id
28 April 2025

Bank Sampah di Desa Tanjungpakis, Karawang ini merupakan hasil kolaborasi PHE ONWJ Regional Jawa Subholding Upstream Pertamina bersama KKPMP. (Dok. PHE ONWJ)

SOKOGURU, KARAWANG- Sejak satu setengah tahun terakhir, para istri nelayan di Tanjungpakis, Karawang aktif memilah sampah sebagai alternatif penghasilan tambahan.

Kegiatan itu menjadi upaya mereka untuk bertahan di tengah ketidakpastian hasil tangkapan laut akibat perubahan cuaca.

Siang itu, di bawah terik matahari, tiga ibu berjalan cepat menuju bibir pantai setelah menyiapkan bekal untuk suami mereka yang tengah melaut.

Tak jauh dari situ, tumpukan sampah menggunung di atas keranjang, berlatar belakang lautan biru keperakan.

Dengan jemari cekatan, para ibu itu memilah sampah plastik dan non-plastik, memanfaatkan waktu untuk mengubah limbah menjadi peluang ekonomi.

Baca juga: Koperasi Bisa Jadi Penggerak Pendirian Bank Sampah Komunitas

Mereka bekerja di bawah naungan bank sampah, tempat khusus untuk memilah berbagai jenis sampah plastik.

Sampah botol air mineral ukuran 600 ml dan 1,5 liter menjadi komoditas paling bernilai tinggi, dihargai hingga Rp6.000 per kilogram (kg) saat dijual ke pengepul.

Sampah plastik berukuran lebih kecil, seperti kemasan 220 ml, dihargai antara Rp2.000 hingga Rp5.000 per kg. Sementara itu, tutup botol dijual Rp2.500 per kg, dan ember plastik seharga Rp1.800 per kg.

Bank Sampah di Desa Tanjungpakis, Karawang merupakan hasil kolaborasi Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (PHE ONWJ) Regional Jawa Subholding Upstream Pertamina bersama Kelompok Kerja Pemberdayaan Masyarakat Pesisir (KKPMP).

Baca juga: Dukung Pengelolaan Sampah, Jakarta Luncurkan Platform Digital e-Bank Sampah

Air mineral kemasan, terutama ukuran 1,5 liter, adalah jenis sampah yang paling banyak ditemukan di sepanjang pantai Tanjungpakis.

Kebiasaan ratusan nelayan membawa beberapa botol air setiap kali melaut membuat volume sampah plastik semakin bertambah. Belum lagi sampah domestik turut memperburuk kondisi.

Ketua KKPMP Tanjungpakis, Sopyan Iskandar, mengungkapkan, sampah di wilayah itu berasal dari dua sumber utama.

"Pertama, sampah rumah tangga dan limbah industri kecil yang hanyut dari hulu sungai hingga muara. Kedua, sampah yang dibuang sembarangan oleh masyarakat," ujarnya, seperti dikutif keterangan resmi Kementerian BUMN, Senin, 28 April 2025.

Baca juga: Bank Sampah Bersihkan Lingkungan dan Tingkatan Ekonomi di Kota Bandung

Ia menambahkan, sulitnya akses armada pengangkut sampah dari dinas membuat pengelolaan limbah di pesisir menjadi tantangan tersendiri.

"Memang masih ada masyarakat pesisir yang buang sampah sembarangan. Karena memang wilayah pesisir sulit dijangkau armada sampah dari dinas. Aksesnya jauh, jumlah armadanya sedikit," imbuh Sopyan.

Menurutnya, upaya membuka layanan angkut sampah sebenarnya memungkinkan, tetapi biaya operasionalnya sangat tinggi. Karena itu, KKPMP menggagas program berbasis komunitas untuk mengatasi masalah ini.

"Makanya kami inisiatif membuat program ini, agar persoalan sampah bisa ditangani dengan biaya rendah karena berbasis komunitas. Sembari kami mendorong perubahan perilaku masyarakat agar membuang sampah pada tempatnya," terangnya.

Bank Sampah Tanjungpakis memulai kegiatannya dengan membagikan tempat sampah dan buku tabungan gratis kepada 114 rumah tangga.

Kepala keluarga otomatis menjadi nasabah bank sampah, dan sampah mereka diambil dua kali seminggu oleh petugas dari KKPMP.

Sampah bernilai jual disalurkan ke pengepul, sedangkan sisanya dimusnahkan. Keuntungan dari hasil penjualan sampah dibagi dua: untuk operasional dan untuk tabungan nasabah.

 

Menarik tabungan kapan saja.

Lebih lanjut, Sopyan menjelaskan, masyarakat merasa senang, karena dari perilaku buang sampah pada tempatnya ternyata bisa menghasilkan uang.

Bahkan ada rumah yang dalam waktu tiga bulan sudah mengumpulkan saldo tabungan mencapai Rp400 ribu.

"Petugas pemilah dan penarik sampah yang berasal dari masyarakat juga senang, karena mereka jadi punya alternatif mata pencaharian," jelasnya lagi.

Ke depan, Sopyan bermimpi memperluas jangkauan program tersebut. Saat ini, bank sampah di wilayahnya baru melayani sebagian kecil  di RT setempat.

Ia juga ingin mulai mengolah sampah lain seperti eceng gondok dan limbah laut.

"Di irigasi kami banyak eceng gondok. Beberapa waktu yang lalu kami sudah difasilitasi studi banding oleh PHE ONWJ, untuk melihat pemanfaatan eceng gondok jadi bungkus pengganti plastik.

Sopyan ingin mengolah limbah laut jadi suvenir. Misalnya, ada banyak kerang berduri yang dibuang nelayan karena jadi hama.

Inisiatif  tersebut mendapat dukungan penuh dari PHE ONWJ.  Head of Communication, Relations & CID PHE ONWJ, R Ery Ridwan, menyatakan, program itu sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) nomor 14 tentang ekosistem laut dan SDG nomor 12 tentang produksi dan konsumsi yang bertanggung jawab.

"Melalui program ini, kami berupaya untuk mengurangi pencemaran laut akibat limbah plastik serta meningkatkan kualitas lingkungan pesisir.

"Kami percaya bahwa kolaborasi antara masyarakat lokal dan sektor swasta dapat menghasilkan solusi inovatif dalam menangani masalah sampah sekaligus memberdayakan komunitas," ujar Ery saat dikonfirmasi di Jakarta, 23 April 2025.

Ia juga berharap program ini bukan hanya mengatasi persoalan sampah, tetapi juga membuka peluang ekonomi baru.

"Dengan melibatkan para istri nelayan sebagai pemilah sampah, dan para nelayan sebagai pengangkut sampah, kami berharap dapat menciptakan lapangan kerja baru dan mendorong kesadaran akan pentingnya pengelolaan limbah yang berkelanjutan," tutupnya. (SG-1)