IDULFITRI dan ketupat adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Sajian seperti sayur pepaya, opor ayam, kupat tahu, atau gulau ditambah sambal goreng ati akan terasa sangat ganjil bilamana tak didampingi ketupat.
Namun, ketupat menyimpan kisah tersendiri tentang para pelaku usaha musiman yang meraup keuntungan berkat hari raya ini.
Sepekan menjelang Idulfitri, Pasar Palmerah di Jakarta Barat menjelma menjadi lautan ketupat. Para pedagang dadakan dari Tangerang dan Banten berjejer di sepanjang Jalan Palmerah Barat, menawarkan kulit ketupat dan janur kelapa, bahan dasar untuk membuat ketupat.
Baca juga: Produk UMKM Kue Kering 'J&C Cookies' Kebanjiran Order Jelang Idulfitri
Firmansyah, salah seorang pedagang, bersama rekan-rekannya dari Tangerang rutin menjajakan ketupat di Pasar Palmerah setiap tahun.
"Tapi seminggu jelang Idulfitri stok janur ketupat dan pembuatan kulit ketupat ditambah lebih banyak, karena banyak pembeli dibanding hari biasa," ujarnya seperti dilansir beritajakarta.id, Rabu (10/4).
Menjelang Lebaran, stok dan produksi mereka meningkat untuk memenuhi permintaan yang melonjak.
Baca juga: Inilah Tips Memulai Membangun Usaha Kuliner di Rumah
“Harga kulit ketupat mengalami kenaikan menjelang Lebaran. Pada hari biasa, 10 kulit ketupat dibanderol dengan harga Rp 10.000. Di hari terakhir puasa, harganya naik menjadi Rp 15.000 per 10 ikat,” tambanya lagi.
Lebih lanjut, Firman mengaku kalau pembeli akan ramapai dari pagi sampai sore . Selain membeli kulit ketupat ada juga yang beli janur kelapa Rp 10.000 per-ikat isi 50.
“Malam nanti saya dan teman-teman pulang kampung,” ujarnya.
Baca juga: Risol Ceu Empit, Legenda Kuliner Ramadan Tangerang yang Hanya Ada Dua Hari Seminggu
Antusiasme pembeli ketupat pernah tak surut meski harga naik setengahnya.
Nur Sarifah, 52, warga Palmerah, sengaja membeli kulit ketupat sehari sebelum Lebaran agar tetap segar. Ia membeli 40 kulit ketupat seharga Rp 60.000 untuk dinikmati bersama keluarga.
Kemeriahan serupa juga terlihat di Jalan Bangun Nusa RW 02, Kelurahan Cengkareng Timur, Cengkareng. Tety, warga Cengkareng Timur, membeli 20 kulit ketupat dengan harga Rp 15.000 untuk 10 kulit ketupat.
Tradisi yang tak lekang waktu
Tradisi ketupat merupakan bagian tak terpisahkan dari Hari Raya Lebaran di Indonesia. Ketupat, dengan bentuknya yang unik dan sarat makna, bukan sekadar hidangan lezat, tetapi juga simbolisasi dan refleksi spiritual.
Asal-usul tradisi ketupat dikaitkan dengan Sunan Kalijaga, salah satu Wali Songo. Konon, Sunan Kalijaga menggunakan ketupat sebagai media dakwahnya. Bentuk ketupat yang teranyam dari janur diibaratkan sebagai hati manusia yang dibungkus dengan kesucian dan kebersihan setelah sebulan penuh berpuasa.
Baca juga: Sambut Lebaran 1445H, Jalan dan Taman Kota Bandung Berhias Bunga Katsuba
Bentuk ketupat yang bersisi empat melambangkan empat sifat manusia: nafsu amarah, nafsu sufiyah, nafsu mutmainah, dan nafsu lawwamah. Ketupat yang terbuat dari beras dan dibungkus janur juga mengandung makna filosofis.
Beras melambangkan kesucian, sedangkan janur melambangkan dosa dan kesalahan. Prosesi merebus ketupat diibaratkan sebagai proses penyucian diri, di mana dosa dan kesalahan dibungkus dan dihilangkan, sehingga hati menjadi bersih.
Tradisi Lebaran Ketupat biasanya dirayakan seminggu setelah Hari Raya Idul Fitri. Pada hari itu, umat Islam di berbagai daerah di Indonesia memasak ketupat dan menyajikannya bersama berbagai hidangan lezat lainnya. Tradisi ini menjadi momen kebersamaan dan silaturahmi antar keluarga dan masyarakat.
Baca juga: Pemkot Bandung Antisipasi Atasi Sampah di Hari Raya Idulfitri 1445H
Di era modern, tradisi ketupat masih dilestarikan oleh masyarakat Indonesia. Meskipun banyak perubahan sosial dan budaya yang terjadi, tradisi ini tetap menjadi bagian penting dari perayaan Hari Raya Lebaran. Tradisi ketupat merupakan warisan budaya yang perlu dilestarikan sebagai identitas dan nilai luhur bangsa. (SG-3)