SOKOGURU- Setiap tahun, masyarakat Banyuwangi menyelenggarakan sebuah agenda budaya yang selalu ditunggu-tunggu, yaitu Festival Gandrung Sewu.
Tahun ini, Festival Gandrung Sewu berlangsung pada 23–25 Oktober 2025 dengan mengangkat tema Selendang Sang Gandrung.
Acara itu akan digelar di Pantai Boom dengan panorama Selat Bali sebagai latarnya, menghadirkan bukan hanya kemegahan seni budaya, tetapi juga pesan tentang pentingnya menjaga harmoni antara manusia dan alam.
Baca juga: Turut Meriahkan Kirab Ageng Merti Bumi Merapi, 1.500 Penari Klaten Pecahkan Rekor Muri
Festival tersebut, menurut keterangan resmi Kementerian Pariwisata (Kemenpar) juga merepresentasikan semangat kebersamaan dan gotong royong.
Ribuan penari yang bergerak serempak menjadi simbol bahwa keberhasilan sebuah komunitas lahir dari kekompakan, bukan dari peran individu semata.
Indonesia sebagai negara yang luas, memiliki beragam tari tradisional dengan ciri khas dan makna yang unik. Tari tradisional bukan hanya sekadar ekspresi budaya, tetapi juga sarat dengan nilai dan simbol mendalam.
Baca juga: Diluncurkan! Dua Program Baru di Kawasan The Golo Mori, Labuan Bajo, Pertunjukan Tari dan Kuliner
Salah satunya adalah Tari Gandrung, tarian khas Banyuwangi, Jawa Timur, yang memiliki keunikan tersendiri dibandingkan tarian tradisional lain, bahkan kerap dijadikan daya tarik wisata budaya.
Sejarah dan Makna Tari Gandrung
Tari Gandrung bermakna ungkapan rasa syukur masyarakat Banyuwangi setelah masa panen. Secara harfiah, istilah “gandrung” berarti terpesona, merujuk pada rasa kagum masyarakat terhadap Dewi Sri atau Dewi Padi yang dianggap membawa kemakmuran. Rasa syukur tersebut diwujudkan dalam bentuk hiburan dan kegembiraan melalui tarian.
Baca juga: Kemenparekraf Dukung Tingkatkan Kualitas SDM Seni Tari Lewat Bimtek Tari Gitek Balen
Berdasarkan catatan sejarah, tarian ini pertama kali dibawakan oleh seorang perempuan bernama Semi. Tradisi tersebut kemudian diteruskan oleh adik-adiknya yang menggunakan nama panggung dengan awalan “Gandrung.” Seiring waktu, tarian ini menyebar ke berbagai penjuru Banyuwangi dan menjadi bagian dari identitas budaya daerah.
Dahulu, hanya mereka yang berasal dari keluarga penari Gandrung yang diperbolehkan menarikan tarian ini. Namun sejak tahun 1970-an, banyak perempuan muda di luar garis keturunan tersebut mulai mempelajarinya dan bahkan menjadikannya sebagai sumber penghasilan.
Perkembangan berikutnya, Tari Gandrung juga dibawakan oleh laki-laki yang berdandan menyerupai perempuan. Akan tetapi, pada akhir 1890-an tradisi tersebut mulai jarang ditemukan karena pengaruh ajaran agama yang melarang pria berpenampilan seperti wanita. Hingga akhirnya, pada tahun 1914, penampilan Gandrung laki-laki benar-benar hilang.
Gerakan Tari Gandrung
Tari Gandrung dikenal dengan keindahan gerakannya yang khas, mengombinasikan tangan, kaki, dan bahu secara selaras sehingga tercipta tarian yang ekspresif sekaligus memikat.
Pada masa penjajahan, Gandrung tidak hanya hadir sebagai hiburan, tetapi juga berfungsi sebagai simbol perlawanan.
Gerakannya yang penuh energi menjadi sarana untuk menyampaikan pesan moral serta semangat patriotisme kepada masyarakat Banyuwangi.
Seiring perkembangannya, tarian ini tidak semata dipersembahkan bagi manusia, melainkan juga sebagai wujud penghormatan kepada alam semesta yang memberi kehidupan dan kesejahteraan.
Setiap gerakan memiliki makna tersendiri: kelembutan tangan mencerminkan rasa syukur dan penghormatan, sedangkan langkah kaki yang dinamis melambangkan kerja keras serta keteguhan hati.
Dalam pementasan besar, ratusan penari biasanya tampil bersama, bergerak kompak menciptakan harmoni layaknya sebuah simfoni gerak. Lebih dari sekadar seni pertunjukan, Gandrung menghadirkan pesan tentang keterhubungan manusia dengan alam dan nilai spiritual yang mendalam. (SG-1)