KoperasiMerahPutih

Ketika Keringat Jadi Sedekah Negara, Pengurus KDMP Tak Digaji, Simbol Ketimpangan Baru di Akar Ekonomi Rakyat

Ironi pengurus koperasi tanpa gaji di tengah anggaran besar Koperasi Merah Putih. Rizki Laelani menyoroti ketimpangan sistem dan nilai keadilan sosial.

By Cikal Sundana  | Sokoguru.Id
06 November 2025
<p>Pengurus koperasi bekerja tanpa upah, tapi pemerintah bangga dengan anggaran besar. Satire keadilan ekonomi ala Rizki Laelani menggugah kesadaran publik.</p>

Pengurus koperasi bekerja tanpa upah, tapi pemerintah bangga dengan anggaran besar. Satire keadilan ekonomi ala Rizki Laelani menggugah kesadaran publik.

Oleh: Rizki Laelani
Ketua KDMP Tegalmanggung & Mahasiswa Pascasarjana KPI UIN Bandung

KOPERASI Merah Putih (KDMP) lahir sebagai simbol semangat ekonomi kerakyatan yang diusung pemerintah. 

Ide dasarnya mulia: menumbuhkan kemandirian masyarakat melalui kolaborasi desa, lembaga, dan pemerintah. 

Namun di balik slogan kemandirian itu, terdapat realitas pahit yang jarang diungkap — para pengurus koperasi justru bekerja tanpa digaji, bahkan seringkali harus menanggung beban operasional sendiri.

Sebagai Ketua KDMP di wilayah Tegalmanggung, saya menyaksikan langsung bagaimana idealisme koperasi sering berbenturan dengan praktik birokrasi dan ketimpangan kebijakan. 

Para pengurus yang diharapkan menjadi motor penggerak ekonomi lokal justru dibiarkan berjuang sendirian. 

Mereka diminta menjalankan program, mengelola data, berkoordinasi dengan BUMN dan pemerintah daerah, tetapi tanpa kejelasan kompensasi atau dukungan finansial yang layak.

Secara hukum, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian sebenarnya membuka ruang bagi pengurus untuk menerima imbalan, sepanjang disetujui dalam Rapat Anggota Tahunan (RAT). 

Namun dalam kenyataan, banyak koperasi di tingkat desa belum memiliki kapasitas keuangan atau mekanisme RAT yang ideal. 

Keterbatasan ini menyebabkan pengurus bekerja secara sukarela, bahkan kerap mengorbankan waktu, tenaga, dan dana pribadi untuk mempertahankan eksistensi koperasi.

Ketimpangan ini semakin terasa ironis ketika pemerintah menggelontorkan dana besar untuk program Koperasi Merah Putih di berbagai daerah. 

Laporan resmi menunjukkan miliaran rupiah digelontorkan untuk mendukung koperasi desa, namun sangat sedikit yang dialokasikan untuk honorarium pengurus. 

Anggaran lebih banyak terserap pada administrasi, pelatihan, dan program kemitraan dengan BUMN. 

Akibatnya, koperasi seolah hanya dijadikan perpanjangan tangan kebijakan negara tanpa memperhatikan kesejahteraan orang-orang di dalamnya.

Dari sudut pandang komunikasi pembangunan, kondisi ini menunjukkan lemahnya komunikasi partisipatif antara pemerintah dan pengurus koperasi. 

Pemerintah cenderung menggunakan pendekatan top-down — membuat program dari pusat dan menugaskan koperasi sebagai pelaksana di bawah. 

Padahal, prinsip koperasi sejati adalah partisipasi, keadilan, dan kemandirian. 

Ketika pengurus tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan atau tidak mendapat penghargaan setara, maka semangat gotong royong yang menjadi inti koperasi akan memudar.

Sebagai mahasiswa Pascasarjana Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) di UIN Bandung, saya melihat fenomena ini bukan sekadar persoalan ekonomi, melainkan juga persoalan etika komunikasi sosial. 

Koperasi seharusnya menjadi ruang komunikasi horizontal antara masyarakat dan pemerintah — bukan sekadar alat distribusi kebijakan. 

Ketika pengurus bekerja tanpa gaji, yang hilang bukan hanya hak ekonomi, tetapi juga kepercayaan sosial (social trust) yang menjadi fondasi keberlanjutan gerakan koperasi.

Dalam perspektif Islam, bekerja untuk kemaslahatan umat memang bernilai ibadah. 

Namun Islam juga menegaskan pentingnya 'adl (keadilan) dan ihsan (kebaikan) dalam setiap sistem sosial. 

Menugaskan seseorang tanpa memberikan hak atas jerih payahnya bertentangan dengan prinsip keadilan sosial. 

Nabi Muhammad SAW bahkan menegaskan, “Berikanlah upah kepada pekerja sebelum keringatnya kering.” 

Prinsip moral ini seharusnya menjadi inspirasi bagi negara dan lembaga pengelola dana publik.

Oleh karena itu, saya mengusulkan agar setiap program koperasi, khususnya Koperasi Merah Putih, menyertakan komponen “operasional pengurus” dalam anggaran resmi. 

Bukan hanya untuk menghargai kerja manusia, tetapi juga untuk memastikan tata kelola yang profesional dan berkelanjutan. 

Pemerintah daerah dan kementerian terkait harus meninjau ulang pola kemitraan dengan BUMN agar tidak menempatkan koperasi sekadar sebagai pelaksana administratif tanpa hak ekonomi yang memadai.

Lebih jauh lagi, RAT harus didorong menjadi ruang demokratis yang sungguh-sungguh hidup. 

Di sana, anggota dan pengurus bisa menentukan besaran honorarium, mekanisme kerja, dan transparansi anggaran. Koperasi tanpa RAT yang sehat hanya akan menjadi lembaga formalitas yang kehilangan ruh partisipasi.

Jika semangat Merah Putih adalah tentang kemandirian, maka kemandirian itu tidak boleh dibangun di atas pengorbanan sepihak. 

Koperasi harus menjadi ruang adil yang menyejahterakan semua — bukan sekadar simbol politik atau proyek anggaran. 

Pengurus yang bekerja tanpa gaji bukanlah tanda keikhlasan, melainkan tanda sistem yang belum berpihak.

Semoga refleksi kecil dari Tegalmanggung ini menjadi pengingat bahwa ekonomi rakyat tidak akan tumbuh jika para pelaku di akar rumput terus dibiarkan bekerja dalam diam, tanpa penghargaan, tanpa kejelasan, dan tanpa perlindungan. (*)