Kerajinan

Terus Berjuang Penuhi Ketersedian Bahan Baku, Kain Tope Jeneponto Siap Mendunia

Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, perajin ecoprint tidak membuat pola dari mesin tekstil, tetapi lewat daun yang pigmennya bisa menempel pada kain. Daun-daun itu adalah jati, katapang, ataupun daun jarak.
 

By Rosmery C Sihombing  | Sokoguru.Id
06 Maret 2024
Dok. Sokoguru-Fajar Ramadan

MENEMPATI salah satu sudut di hall B Balai Sidang Jakarta Convention Center, berbagai macam hasil kerajinan dan ekonomi kreatif Sulawesi Selatan (Sulsel) dipamerkan dalam perhelatan InaCraft 2024.

 

Saat menikmati hasil karya kerajinan yang dipamerkan dan berbincang-bincang dengan Kepala Bidang Sarana dan Prasarana Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sulsel  Rahmatiah Idrus, ia pun mengajak ke anjungan Kabupaten Jeneponto.

 

“Ini produk fesyen dari kain tope atau kafan yang menggunakan teknik ecoprint milik Nursean. Unik dan mulai banyak dilirik masyarakat di Sulsel,” ujarnya.

 

Baca juga: Inacraft 2024 Diharap Dorong Indonesia Masuk 10 Besar Eksportir Kerajinan Dunia

 

MENEMPATI salah satu sudut di hall B Balai Sidang Jakarta Convention Center, berbagai macam hasil kerajinan dan ekonomi kreatif Sulawesi Selatan (Sulsel) dipamerkan dalam perhelatan InaCraft 2024.

 

Saat menikmati hasil karya kerajinan yang dipamerkan dan berbincang-bincang dengan Kepala Bidang Sarana dan Prasarana Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sulsel  Rahmatiah Idrus, ia pun mengajak ke anjungan Kabupaten Jeneponto.

 

“Ini produk fesyen dari kain tope atau kafan yang menggunakan teknik ecoprint milik Nursean. Unik dan mulai banyak dilirik masyarakat di Sulsel,” ujarnya.

 

Beberapa daerah dalam gelaran yang berlangsung 28 Februari hingga 3 Maret 2024 itu memang memamerkan kain ecoprint, selain batik, tenun ulos, dan songket.

 

Produksi terbatas 

Produk fesyen ecoprint yang terbuat dari kain tope (kafan) dan daun jati, jarak, serta daun ketapang ini memang sedang populer di Sulawesi Selatan, khususnya di Kabupaten Jeneponto. 

 

Setiap acara pemerintahan di provinsi itu, ecoprint kain tope Nursean sudah kerap dipakai sebagai seragam. Bahkan pada InaCraft 2023 juga sudah ikut berpameran.

 

“Ini berpotensi jadi produk kerajinan unggulan dari Sulsel yang akan terus kami promosikan,” ujar Ibu Cheng, sapaan akrab Rahmatiah. 

 

Adalah Nursean, pensiunan aparatur sipil negara (ASN) di bidang ketahanan pangan yang menerjunkan diri memulai usaha kain ecoprint tope.

 

Berdua saja bersama temannya dan dibantu dua karyawan ia pun memulai usahanya.

“Di masyarakat kami untuk pembungkus jenazah memang menggunakan kain kafan yang ditenun. Lalu kami menggunakan pewarna alami dari kayu,  menambahkan motif. Ada pun motifnya hanya dari bentuk kain jati, jarak dan daun ketapang,” jelas Nursean saat Sokoguru mengunjungi standnya pada pameran InaCraft 2024.

“Ini memang ciri khas dari daerah kami, sehingga kami kembangkan jadi bisnis,” tambahnya. 

 

Di atas kain tenun tope  berukuran lebang 90 cm dan panjang 16 meter itulah Nursean menumpahkan kreasi ecoprintnya. Dari situlah baru dibuat aneka produk fesyen, mulai dari blus, rok, baju terusan, scarf, selendang, tas, dan aneka kerajinan lainnya. 


 

Di balik keindahan kain tope,  Nursean masih menemui kendala yakni  produksinya  masih terbatas. “Kami hanya mampu menghasilkan enam potong dalam sehar,” ujarnya.

 

Meskipun sudah mendapatkan perhatian dari desainer dan bahkan permintaan dari luar negeri, seperti Kanada, namun kapasitas produksi masih menjadi hambatan.

Faktor utamanya adalah keterbatasan stok material, seperti daun jati, ketapang dan daun jarak yang diperlukan untuk proses ecoprint.

“Suatu hari dapat pesanan dari Kanada untuk kain ini, mereka pesan banyak dan datang langsung ke tempat kami. Namun, kita belum mampu untuk memenuhi itu karena sepenuhnya handmade,” tuturnya.

 

Secara kapasitas produksi, Nursean menuturkan bahwa dalam sehari mampu menghasilkan 6 potong kain Ope Ecoprint, jika dijumlahkan, maka dalam sebulan kira-kira 180 potong. Berarti secara produksi, setidaknya Nursean dan seorang rekan kerjanya mampu memproduksi kira-kira 1.620 meter kain tope.

Tapi, tentu saja jika dibandingkan dengan pesanan dari Kanada sebelumnya, kapasitas itu belum cukup. Terlebih ada masalah dalam bisnis slow fashion yang alami ini, yaitu ketersediaan material.

Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, perajin ecoprint tidak membuat pola dari mesin tekstil, tetapi lewat daun yang pigmennya bisa menempel pada kain. Daun-daun itu adalah jati, katapang, ataupun daun jarak.

“Dengan musim yang berganti, ketersediaan daun kadang ada, kadang tidak,” tambahnya. 

Memang ini adalah tantangan bagi bisnis hijau, karena pada dasarnya ecoprint mesti memanfaatkan ketersediaan yang ada di alamnya sendiri.

Meskipun masih terbatas dalam produksi, kain tope telah menemukan pasar di kalangan menengah, terutama untuk produk eksklusif seperti baju untuk pejabat. 

 

“Kami tetap bersemangat dan berharap dapat memenuhi permintaan yang semakin meningkat dengan kualitas yang terjaga,” imbuh Nursean yang menjual kainnya mulai dari Rp500 ribu hingga jutaan.

Kehadiran kain tope Janeponto kiranya turut menambah ragam wastra di tanah air. “Ini kami sudah mendapat pesanan untuk seragam dalam rangka HUT kabupaten Janeponto pada Mei mendatang. Pesanannya cukup banyak. Jadi dari sekarang sudah harus dipersiapkan,” ujar Nursean.

 

Sementara itu, Ibu Cheng mengatakan pihaknya masih terus mengupayakan mempromosikan ecoprint kain ope milik Nursean.

 

Untuk saat ini, kain topenya masih dipasarkan di sekitar Sulawesi Selatan.

 

Beberapa daerah dalam gelaran yang berlangsung 28 Februari hingga 3 Maret 2024 itu memang memamerkan kain ecoprint, selain batik, tenun ulos, dan songket.

 

Produksi terbatas 

 

Produk fesyen ecoprint yang terbuat dari kain tope (kafan) dan daun jati, jarak, serta daun ketapang ini memang sedang populer di Sulawesi Selatan, khususnya di Kabupaten Jeneponto. 

 

Setiap acara pemerintahan di provinsi itu, ecoprint kain tope Nursean sudah kerap dipakai sebagai seragam. Bahkan pada InaCraft 2023 juga sudah ikut berpameran.

 

“Ini berpotensi jadi produk kerajinan unggulan dari Sulsel yang akan terus kami promosikan,” ujar Ibu Cheng, sapaan akrab Rahmatiah. 

 

Adalah Nursean, pensiunan aparatur sipil negara (ASN) di bidang ketahanan pangan yang menerjunkan diri memulai usaha kain ecoprint tope.

 

Berdua saja bersama temannya dan dibantu dua karyawan ia pun memulai usahanya.

“Di masyarakat kami untuk pembungkus jenazah memang menggunakan kain kafan yang ditenun. Lalu kami menggunakan pewarna alami dari kayu,  menambahkan motif. Ada pun motifnya hanya dari bentuk kain jati, jarak dan daun ketapang,” jelas Nursean saat Sokoguru mengunjungi standnya pada pameran InaCraft 2024.

 

“Ini memang ciri khas dari daerah kami, sehingga kami kembangkan jadi bisnis,” tambahnya. 

 

Di atas kain tenun tope  berukuran lebang 90 cm dan panjang 16 meter itulah Nursean menumpahkan kreasi ecoprintnya. Dari situlah baru dibuat aneka produk fesyen, mulai dari blus, rok, baju terusan, scarf, selendang, tas, dan aneka kerajinan lainnya. 


Di balik keindahan kain tope,  Nursean masih menemui kendala yakni  produksinya  masih terbatas. “Kami hanya mampu menghasilkan enam potong dalam sehar,” ujarnya.

 

Meskipun sudah mendapatkan perhatian dari desainer dan bahkan permintaan dari luar negeri, seperti Kanada, namun kapasitas produksi masih menjadi hambatan.

 

Faktor utamanya adalah keterbatasan stok material, seperti daun jati, ketapang dan daun jarak yang diperlukan untuk proses ecoprint.

 

“Suatu hari dapat pesanan dari Kanada untuk kain ini, mereka pesan banyak dan datang langsung ke tempat kami. Namun, kita belum mampu untuk memenuhi itu karena sepenuhnya handmade,” tuturnya.

 

Secara kapasitas produksi, Nursean menuturkan bahwa dalam sehari mampu menghasilkan 6 potong kain Ope Ecoprint, jika dijumlahkan, maka dalam sebulan kira-kira 180 potong. Berarti secara produksi, setidaknya Nursean dan seorang rekan kerjanya mampu memproduksi kira-kira 1.620 meter kain tope.

 

Tapi, tentu saja jika dibandingkan dengan pesanan dari Kanada sebelumnya, kapasitas itu belum cukup. Terlebih ada masalah dalam bisnis slow fashion yang alami ini, yaitu ketersediaan material.

 

Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, perajin ecoprint tidak membuat pola dari mesin tekstil, tetapi lewat daun yang pigmennya bisa menempel pada kain. Daun-daun itu adalah jati, katapang, ataupun daun jarak.

 

“Dengan musim yang berganti, ketersediaan daun kadang ada, kadang tidak,” tambahnya. 

 

Memang ini adalah tantangan bagi bisnis hijau, karena pada dasarnya ecoprint mesti memanfaatkan ketersediaan yang ada di alamnya sendiri.

 

Meskipun masih terbatas dalam produksi, kain tope telah menemukan pasar di kalangan menengah, terutama untuk produk eksklusif seperti baju untuk pejabat. 

 

“Kami tetap bersemangat dan berharap dapat memenuhi permintaan yang semakin meningkat dengan kualitas yang terjaga,” imbuh Nursean yang menjual kainnya mulai dari Rp500 ribu hingga jutaan.

 

Kehadiran kain tope Janeponto kiranya turut menambah ragam wastra di tanah air. “Ini kami sudah mendapat pesanan untuk seragam dalam rangka HUT kabupaten Jeneponto pada Mei mendatang. Pesanannya cukup banyak. Jadi dari sekarang sudah harus dipersiapkan,” ujar Nursean.

 

Sementara itu, Ibu Cheng mengatakan pihaknya masih terus mengupayakan mempromosikan ecoprint kain ope milik Nursean.

 

Untuk saat ini, kain topenya masih dipasarkan di sekitar Sulawesi Selatan.

 

“Karena keterbatasan produksi, sementara ini kita masih upayakan mempromosikan kain tope ini di dalam  Sulsel dulu,” ujarnya. (Fajar Ramadan/Rosmery Sihombing/ SG-1)