Jauh di dataran Italia sana, mereka yang lahir dan besar di sentra kerajinan akan keluar dari daerahnya dengan bangga. Jika ada yang bertanya, “orang mana kamu?”, dengan bangga ia sebut “Florence”, atau “Marche”, atau “Milan!”. Di Indonesia, yang terjadi cenderung kebalikannya. Bahkan banyak juga orang tua yang ingin anaknya bekerja kantoran atau semacamnya.
Tapi tidak dengan satu pelaku UMKM yang kami kunjungi. Dia adalah Yusuf Sahroni yang dengan bangga bilang “saya orang Cibaduyut!” sambil menunjukan sandal LAF Project andalannya yang meroket di pasaran marketplace.
Kalau kita coba search “sandal” di 2 marketplace paling besar Indonesia, maka produk dari LAF kemungkinan akan muncul sebagai keyword-winner. Sandal LAF Project ini berbekal warisan tradisi kepengrajinan Cibaduyut yang bukan diterima begitu saja, tapi dirombak dan ditawar habis. Sampai benar-benar bisa, mahfum dan bahkan hari ini bekerja sama dengan animasi nasional dan internasional untuk menjadi official merchandise-nya. Seperti apa kisah awalnya?
Resign, Minus 2 Milyar dan Mulai Berusaha
Sudah tiga generasi keluarga Yusuf hidup dari kepengrajinan sepatu. Pertama kakeknya, kemudian ayahnya, hingga kemudian kepada dirinya. Tetapi Yusuf tidak langsung memulai sebagai seorang wirausaha, tetapi seperti anak muda CIbaduyut saat itu, Yusuf kuliah, lulus dan melamar pekerjaan. Yusuf memilih menjadi marketing di salah satu perusahaan Perbankan.
Bukan berarti Yusuf tidak percaya hidupnya akan terpenuhi oleh usaha sepatu, tetapi Yusuf membaca kemungkinan lain. Menurutnya, dengan mengetahui ilmu dan praktik lebih jauh tentang marketing adalah modal nyata untuk usaha ke depan. Modal itu adalah satu yang dipegangnya, karena keahlian dalam sepatu banyak dipelajari dalam diam, dalam mengamati para pengrajin melakukan pekerjaannya.
Usaha ini telah menghidupinya. Ayah Yusuf adalah pengrajin sepatu formal untuk ekspor ke Yaman. Kerja sama itu berlangsung konstan, sehingga setahun produksi bisa habis untuk order itu saja. Namun, saat kondisi negara tersebut dilanda perang, produksi setahun itupun yang terkendala, membuat bisnis tidak stabil.
Yusuf yang baru saja memutuskan resign harus merelakan rumahnya untuk menalang produksi sepatu tersebut. Tapi bukan berarti Yusuf menundukan kepala, menyalahkan keadaan, atau siapapun. Di sinilah momen di mana Yusuf menemukan beberapa kunci dalam bisnisnya ke depan.
Yusuf pulang-pergi ke Bandung. Beberapa kali di kawan, bahkan di masjid, untuk eksperimen produknya sendiri, sepatu dan sandal yang akan berkembang jadi brand-nya. Yusuf bermodal pencarian di internet, dan pergi ke salah satu toserba sepatu olahraga mencoba model baru yang belum pernah dicoba di Cibaduyut. Menjadi unik adalah satu kunci yang ia dapatkan dalam pengolahan produk, kuncinya ada di riset.
Akhirnya dicapailah satu produk, sepatu knitting yang belum banyak hadir di pasar Indonesia, dijajal oleh Yusuf. Jenis yang seringnya jadi andalan salah satu brand sepatu asal Amerika. Desain inilah yang menjadi awal titian bisnisnya. Seperti apa yang diwariskan dari kakek dan ayahnya untuk hidupnya, LAF Project ini dipersiapkan untuk sang anak sekaligus menjadi doa, Namanya adalah Langit Al Faruq.
Belajar Marketplace dari Mafia Seminar
Yusuf belajar dari kesalahan-kesalahan, pertama pengrajin Cibaduyut yang mengandalkan sistem PO tidak akan berkembang jauh dan cenderung menjadi pabrik untuk kejayaan orang lain. Caranya adalah mengembangkan brand sendiri, tapi bagaimana caranya? Di sinilah kemudian Yusuf menjadi mafia seminar.
Tentu saja mafia seminar ini bukan penjahat seperti mafia tanah, mafia minyak dll. Yusuf mendapat titel ini semata karena frekuensi kehadirannya di seminar-seminar sangat tinggi. Salah satunya adalah dengan Rumah BUMN Bandung yang diikuti konsisten oleh Yusuf sejak awal dia berusaha.
“Apapun seminarnya, karena saya mau bikin brand, saya datangi aja. Apalagi yang gratis. Bisnis dibantu, gratis pula,” tuturnya dibarengi tawa.
Di sini Yusuf belajar, bahwa banyak para pengusaha sebelumnya hanya “berdagang” tapi tidak “berbisnis”. Berdagang hanya menyelamatkan apa yang jadi untung di hari ini dan di jangka pendek. Tetapi dalam bisnis, rugi hari ini, bahkan satu bulan penuh bukan berarti rugi, tetapi bisa jadi sedang membangun ancang-ancang bisnis untuk memberikan value di masa yang akan datang.
Itulah yang didulang Yusuf hari ini, orang mengenal LAF dari value-nya. Entah sebagai produk snekaers dan sandal Travelling terbaik yang direkomendasikan oleh Kemenparekraf RI, produk sandal lokalan terbaik dan terjangkau hari ini, atau sampai official merch dari 30th Anniversary Sinchan dan Tahilalats.
Bisnis Berbasis Data, Menjadi Raja Marketplace
Ini pelajaran berharga untuk Yusuf, terlebih jika ia praktikan di bisnisnya hari ini. Selain beda dagang dan bisnis, Yusuf belajar juga tentang data. Kesalahan bisnis yang sering dilakukan para pengusaha, pelaku UMKM adalah berpatok pada perasaannya sendiri, padahal data yang bisa diprediksi, dibaca dan diperhitungkan ada di depan mata.
“Bisnis seringnya mengandalkan feeling. Padahal itu jebakannya. Kalau saat kita bisnis, gunakan data. Selagi bisa dibaca, kenapa harus main tebak-tebakan?” tutur Yusuf sambal tersenyum.
LAF Project terus berkembang, dengan motto kerja “Malas tertindas, lambat tertinggal, berhenti mati”, ia terus menciptakan inovasi produk yang berbasis data. Sebagaimana prinsip-prinsip yang dipelajarinya di seminar ataupun di berbagai tempat.