Sokoguru.id – Andika Santiyadi namanya. Seorang pengrajin sepatu Cibaduyut dengan kenamaan sepatu ‘Piede’ miliknya. Sambil menunjukkan produk kebanggaannya, ia menegaskan bahwa sepatu Cibaduyut tak seperti yang banyak orang kira. Kualitas juara tetap menjadi ‘titel’ yang melekat pada semua produknya.
Seperti pada brand ‘Piede’, yang tetap memegang teguh tradisi blake stitch, rosel dan goodyear welting khas Cibaduyut tempo dulu. Teknik mengrajin sepatu yang sangat terkenal dengan tingkat kesulitan mendetail itu, yang membawa brand dan sepatu para pengrajin Cibaduyut, tersohor dengan keunggulannya. Tak kalah dengan brand ternama yang berjajaran di pasar dunia.
Maka, Andika mencoba membawa tradisi lama dengan teknik sol sepatu tingkat tinggi. Brand kawakannya mencerminkan kualitas super itu. Piede berfokus memproduksi sepatu kulit berkualitas unggul. Seperti peribahasa sambil menyelam minum air, dengan melestarikan teknik pembuatan sepatu, Andika sekaligus memanifestasikan pelsetarian budaya produksi sepatu Cibaduyut.
Andika mengeluhkan perihal jarangnya pengrajin yang bersedia mengerjakan sepatu, dengan teknik khusus goodyear atau dikenal juga dengan teknik ‘beneuh’. Keterampilan yang cukup sulit, dengan proses handling yang cukup panjang, membuat banyak pengrajin sepatu Cibaduyut ogah-ogahan membuatnya.
“Pengrajinnya sudah dicari pada nggak mau. Capek mengerjakannya.” Tutur Andika ketika ditanyai tim Sokoguru. Keluhan itu, terdengar sangat wajar di telinga. Sebab selain karena harga yang cukup tinggi, identitas Cibaduyut telah tergeser akibat banyak kendala yang sulit ditampung para pengrajin.
Secara teknis pengerjaan, sepatu khas Cibaduyut menggunakan konstruksi dasar yang tersusun dari beberapa lapis sol sepatu. Lapisan-lapisan tersebut disatukan dengan cara dilem, dan dijahit. Sederhananya, dua proses penggabungan lapisan itulah yang membuat sepatu Cibaduyut kokoh dan tak lekang oleh zaman.
Di sisi lain, ke-ogah-ogahan para pengrajin sepatu, membuat proses pelapisan pun dibuat jadi lebih ringkas. Teknik pengerjaan kilat itu dikenal warga lokal dengan sebutan ‘sol ceplok’. Bukannya kurang bagus, dalam segi pegerjaannya sol ceplok memang praktis. Harganya pun jauh lebih murah daripada beneuh. Dari konteks kekuatan pun sol ceplok sudah kalah telak dengan beneuh. Pasalnya, sol ceplok mudah robek, dikarenakan terbuat dari baha karet yang tak begitu tebal.
Sementara beneuh jelas lebih kuat, dengan terdiri dari beberapa lapis kulit yang dipress ketat kemudian diberi karet pada bagian bawah sepatu. Sehingga hal itu menjadi syarat sol beneuh lebih memiliki daya tahan tinggi. Sehingga banyak pengrajin menggunakan jallan pintas dengan sol ceplok.
Kendala yang menerjang pengrajin sepatu Cibaduyut, mengakibatkan efek domino pada harga produk sepatunya. Bayangkan saja, untuk sepatu dengan teknik rumit seperti blake stitch, Andika menjualnya dengan harga pasaran Rp.300 hingga Rp.500 ribu. Padahal, jika mengintip brand lain yang menggunakan teknik yang sama, harga sepatu bisa melebihi Rp.1 juta.
Tidak hanya berhenti pada segi harga saja. Secara pemasaran pun, diksi Cibaduyut melahirkan kesan yang lemah untuk bersanding dengan produk lainnya. Sebab pasar Indonesia sudah terproyeksi harga murah dengan kualitas di bawah standar. Hal ini membuat Andika tak habis pikir.
‘Seharusnya banyak lagi edukasi kepada konsumen soal standar Cibaduyut.” Tukasnya mantap. Sembari menunjukkan produk Piede miliknya, Andika dengan lantang berkata. “Budaya Cibaduyut bukan ceplok, budaya kami beneuh!”.
Maka Andika terus gigih dalam mempertahankan produk sepatu dengan tenik beneuh yang tak hanya melegenda, namun juga dapat mencitrakan kualitas asli yang tak kalah di pasaran Indonesia.