sokoguru.id—Hujan menyelimuti langit Parigi, Kab. Pangandaran, saat kami tiba di pekarangan Kopi Bueuk. Tarli Sutarli menyambut kami dengan senyum terkembang. Di tangannya secangkir kopi mengeluarkan aroma sedap, membangkitkan selera siapa yang menciumnya.
Sebagai warga Pangandaran asli, Tarli mengenal seluruh potensi besar yang ada di Pangandaran. Sektor wisata Pangandaran tak menjadi incarannya. Tinggal di desa Selasari, yang memiliki ketinggian 500 mdpl, membuat Tarli ingin memanfaatkan lahan untuk pertanian.
“Kopi robusta di Pangandaran ada di 6 kecamatan, di Parigi, Sidamulih, Cigugur, Padaherang, Kalipucang, dan Langkaplancar. Semuanya kopi robusta,” kata Tarli, saat memetakan kopi robusta di Pangandaran. “Kopi Robusta di Pangandaran ada 200 ton per panen,” jelasnya.
Menurut Tarli, perkembangan kopi robusta di Pangandaran baru dimulai sejak tiga tahun lalu. Para pengusaha kopi mulai hasilkan cita rasa dan aroma yang mantap. Sehingga, saat pandemi menutup objek wisata di Pangandaran, sektor pertanianlah yang memutar roda perekonomian, salah satunya kopi robusta.
Namun perjalanan kopi robusta Pangandaran tidak semulus itu. Awalnya kopi robusta Pangandaran dihargai rendah, dengan cap kopi asalan—kopi yang diproses secara asal. Pamor kopi robusta dari daerah lain seperti Garut, Ciamis, Kuningan, dengan proses dan rasa yang lebih baik turut menenggelamkan kopi robusta pangandaran.
“Saat panen mulai, saya terpikir, orang lain bisa membuat kopi dengan kemasan yang bagus, dengan aroma yang wangi dan rasa yang enak. Setelah itu saya mulai (termotivasi) untuk memproses kopi kualitas baik,” ujar Tarli.
Setelahnya, Tarli belajar memproses kopi ke Bandung. Ia memasarkan kopi kepada roastery-roastery di Bandung sambil mencari tahu letak kekurangan kopi olahannya. Lama berkecimpung di Bandung, Tarli kembali membawa ilmu pengolahan kopi ke kampung halamannya.
“Awalnya kopi dijemur langsung di atas terpal, di bawah terik matahari langsung. Tapi kondisi cuaca yang berubah-ubah membuat pengeringan kopi lambat,” ungkap Tarli, “setelah belajar saya membangun green house agar pengeringan kopi dilakukan di solar drying dome. Jadi suhu lebih stabil, dan kopi cepat kering,” lanjutnya.
Kualitas kopi robusta olahan Tarli perlahan mengalami peningkatan kualitas. Kopi yang diolah dengan baik akan memudahkan roaster dalam menyangrai. Hasil sangraiannya rata, aroma dan rasa kopi lebih nikmat.
Inovasi proses penjemuran kopi itu diimbangi dengan olahan kopi dengan proses yang beraneka macam. “Sekarang ada proses natural, honey, wine, semuanya ada peminatnya,” ungkap Tarli. Semua proses kopi spesial itu dijual dengan nama Kopi Bueuk.
Bueuk sendiri merupakan akronim dari budayakan eueut kopi (budayakan minum kopi). Dengan nama Kopi Bueuk, Tarli mencerminkan spiritnya dalam mengolah kopi. Sehingga, bersama Kopi Bubuk, kopi robusta Pangandaran mulai muncul ke permukaan.
Kopi Bueuk menjual green bean kopi robusta proses spesial dengan harga Rp. 50.000,- per kilogramnya. Sementara itu, roasted bean-nya dihargai Rp. 20.000 per 200 gram. Harga green bean spesial garapan Kopi Bueuk naik dua kali lipat dari proses asalan. “Kopi asalan hanya dihargai Rp. 20.000,- per kilo. Kalau kopi spesial harganya lebih tinggi, di Rp. 50.000,- per kilo,” kata Tarli.
Kopi Bueuk telah memasarkan kopi robusta Pangandaran ke Bandung, Cicalengka, hinga Jakarta. Kini di masa menjelang panen, Tarli tengah menyiapkan warga sekitar sebagai tenaga kerja panen dan pascapanen. Proses spesial yang dilakukan Tarli bersama Kopi Bueuk turut menambah penghasilan masyarakat Desa Selasari.
Kopi spesial yang diolah Tarli bersama Kopi Bueuk memiliki rangkaian yang panjang dan membutuhkan banyak orang. Tenaga paling banyak dibutuhkan saat tahap penyortiran kopi. Semua kopi yang rusak akan dibuang dan menyisakan kopi bersih siap sangrai. “Untuk upah sortir kopi hingga bersih harganya Rp. 3.000,- per kilo,” pungkas Tarli.