Rosmery C Sihombing
BISNIS berkelanjutan (Sustainability business) tidak hanya mencakup aspek ekonomi, tetapi juga memperhitungkan dampak lingkungan dari aktivitas bisnis. Dalam pandangan itu, bukan hanya tanggung jawab sosial perusahaan, melainkan sebuah strategi yang dapat meningkatkan daya saing dan merespons tuntutan global untuk menjaga kelestarian lingkungan.
Sebab itu, pemahaman tentang bagaimana perusahaan dapat secara efektif menggabungkan digitalisasi dengan prinsip-prinsip keberlanjutan menjadi sangat penting untuk mencapai tujuan bisnis yang berkelanjutan dan tangguh di masa depan.
Demikian benang merah dari acara talk show Merancang Konsep Sustainability Business Untuk Entrepreneur, di Universitas Esa Unggul (UEA), Selasa (27/2).
Baca juga: bjbPreneur on Campus Universitas Esa Unggul: Rancang Konsep Sustainability Business
Pada acara bjbPreneur on Campus yang diselenggarakan oleh bank bjb tersebut hadir sebagai narasumber Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Esa Unggul (FEB UEU) Dr Tantri Yanuar Rahmat Syah, Ketua program Studi Doktor Ilmu Manajemen UEU) Edi Hamdi, dan CEO Gringgo Tech Febriadi Pratama.
Di hadapan 200-an peserta, Tantri Yanuar mengatakan, semua bisnis harus berkelanjutan atau sustainability. Ia pun memberi contoh merek ponsel Blackberry yang ditinggalkan konsumennya.
“Kalau beli HP sekarang, tahun depan sudah kuno. Sekarang situasinya turbulence, makanya harus sustain non limbah. Kalau tidak sustain akan ditinggalkan oleh pelanggan. Jadi perusahaan itu harus sustain terhadap alam, masa depan, “ ujar pakar di bidang Pemasaran dan Manajemen Strategis itu.
Lebih lanjut ia juga mencontohkan kantong plastik yang tidak lagi disediakan ketika berbelanja di Indomaret atau Alfamart.
“Dulu kalau kita belanja kantong plastiknya gratis sekarang bayar. Itu membuat kita kesal kan, tetapi kenapa masih saja banyak orang berbelanja ke Allfa atau Indomaret, karena keduanya menerapkan aturan yang sama.
Kalau salah satu qja, pasti konsumen pindah. Coba kalau cuma salah satu saja yang menerapkan aturan itu, pasti pelanggan akan pindah ke toko yang tidak menerapkan aturan bayara kantong belanja. Itulah sebabnya harus ada regulator untuk membuat regulasi (aturan),” tutur Tantri
Nah, lanjutnya, itu berlaku juga jika semua pelaku UMKM memakai kemasan yang ramah lingkungan.
Menjawab pertanyaan peserta terkait strategi marketing yang viral apakah otomatis menaikkan penjualan produk, Tantri menjawab dengan memberi contoh tulisan dari Harvard University pada 2012 .
“Viral marketing itu membuat orang aware (sadar) terhadap produk. Misalnya, dari 1000 orang yang sadar baru 700-an memiliki knowledge (pengetahuan), tetapi yg suka cuma 500-an, lalu turun 200-an yang lebih suka. Lalu yang menghampiri produk kita cuma 100-an dan akhirnya yang beli paling 50,” jelasnya.
Kemudian Tantri juga memberi contoh taksi Bluebird yang kehilangan competitive advantage-nya, ketika muncul taksi online, seperti Ubber, Grab. Untuk itu ia menegaskan perusahaan harus punya kemampuan melihat dinamika bisnis.
Ia membanding bila seseorang yang sejak kecil selalu diberi kemudahan dengan fasilitas tercukupi, maka kurang memiliki tantangan. Hal itu berbeda dengan seseorang dari keluarga terbatas yang fasilitasnya juga serba terbatas, maka ia akan berusaha mengatasi tantangan atau rintangan dalam hidupnya.
“Dan jangan lupa, hadiah terbesar kita adalah challenge. Jadi marilah kita men-challange diri sendiri,” pungkas Tantri.
Teknologi hanya tools
Terkait dengan pentingnya melibatkan teknologi dalam bisnis UMKM,
Febriadi Pratama menegaskan, teknologi bukanlah solusi dari segala macam permasalahan.
“Itu hanya tools (alat) salah satu cara memecahkan masalah di masyarakat. Sebabnya, semua bisnis itu pada dasarnya adalah customer (pelanggan). Jadi kita juga harus melihat teknologi yang cocok untuk mereka apa. Untuk UMKM yang kita geluti, teknologi yang cocok itu apa. Kalau teknologi itu lebih berguna dalam transaksional. Disinilah digitalisasi penting, lebih efisien,” ungkapnya.
Febri pun memberi contoh teknologi monitoring ikan yang membantu kapan ikan itu diberi makan sesuai dengan waktu lapar mereka.
Jadi waktu produksinya ikan juga lebih efektif.
“ Untuk menghasilkan profit sebesar-besarnya bisnis harus punya tujuan. Pada saat konsumen membutuhkan kita ada. Google dan Yahoo butuh 15 tahun untuk mapan, Microsof juga sama. Jadi tidak ada bisnis yang baru buka langsung besar.Itulah sebabnya kalau mau membuka usaha sudah harus dipikirkan ke depan mau ngapain,” imbuhnya.
Febri mengaku saat ini pihaknya sedang membuat bahan bakar dari kotoran (tinja) manusia untuk mengganti batubara yang kelak bisa bisa habis. Ini terkait energi baru terbarukan.
Ia juga melihat belum banyak UMKM menggunakan kemasan yang ramah lingkungan, karena akan berdampak pada penambahan harga jual produk.
“Sebetulnya pelaku UMKM bisa melakukannya tetapi harus berani juga mengubah target market pelanggan. Kalau targetnya rendah, harga produknya naik tentu kurang laku. Maka yang diubah harus target pelanggannya lebih ke atas. Walau target pelanggan kecil, tetapi usaha tetap jalan. Jadi harus berani mengubah pasar,” jelas Febri lagi.
Ketua Yayasan Gringgo Indonesia ini juga meminta para pelaku UMKM mampu meng-combain sustain dan kemasan. Sebab kalau tidak bisa mengikuti zaman akan mati.
“Yang penting bisnis kita bermanfaat, melakukan kolaborasi, dan berkomunikasi,” pungkas Febri.
Butuh modal besar
Edi Hamdi mengatakan untuk mencapai bisnis yang sustain butuh modal besar, tetapi hal itu dapat manfaat buat anak cucu. Sustain mau menunjukkan kemampuan perusahaan dan memberikan manfaat.
“Kalau kita menjalani bisnis yang sustain, akan mendapat loyalitas pelanggan, ketika pelanggan puas, walah kita ada salah-salah sedikit pasti dimaafkanlah. Yang perlu diketahui adalah kita untung tapi ada tujuannya. Bukan sekadar cari duit tapi jangka panjang. Jadi ada engagement,” tuturnya.
Lebih lanjut, peraih master dari Aalborg Universitet Denmark pada 2003 ini mengatakan saat ini dengan teknologi masa urai plastik bisa diatur. Dan bisnis matching akan membantu para pelaku UMKM untuk memulai bisa dengan sustainability.
Menjawab pertanyaan peserta terkait viral marketing, Edi mengatakan teknologi memang mempercepat dan mempersingkat. Tapi jangan lupa demografi.
“Tiap demografi beda-beda. Bisa saja di satu daerah marketing yang viral itu diterima, tetapi di tempat lain belum tentu. Apalagi di Indonesia dengan kondisi daerah yang berbeda-beda itu sangat berpengaruh. (SG-3)