KASUS perundungan di lembaga pendidikan terus mengalami peningkatan signifikan, merambah dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi.
Fenomena perundungan atau bullying memperlihatkan betapa lemahnya deteksi dini dan tindakan pencegahan yang seharusnya dilakukan oleh sekolah serta Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).
Mirisnya, banyak kasus perundungan yang terjadi secara berkelompok, menandakan bahwa potensi deteksi dini sebenarnya bisa dilakukan dengan lebih baik.
Baca juga: Marak Perundungan dan Pelecehan di Sekolah, DPR Dorong Ekskul sebagai Pendidikan Karakter
Ketua Komisi X DPR RI, Syaiful Huda, mengkritik keras ketidakmampuan sekolah dalam mendeteksi dan mencegah tindakan perundungan.
Menurut Syaiful, sekolah seharusnya lebih canggih dalam melakukan deteksi dini, terutama karena tindakan perundungan sering dilakukan secara berkelompok, yang seharusnya mudah terbaca jika ada pengawasan yang serius dan berkelanjutan.
Namun, kegagalan dalam pencegahan dini ini menandakan adanya kelemahan struktural dalam sistem pendidikan.
Lebih lanjut, Syaiful menilai bahwa masalah tidak hanya terletak pada sekolah, tetapi juga pada Kemendikbudristek dan dinas pendidikan yang dinilai belum melakukan upaya preventif secara terstruktur, sistematis, dan masif.
Menurutnya, langkah-langkah yang diambil dalam menangani perundungan masih sporadis dan parsial, dengan penanganan yang hanya dilakukan ketika kasusnya viral.
Kondisi ini membuat sekolah seringkali terkesan acuh jika perundungan tidak mendapat sorotan publik.
Fenomena ‘no viral, no justice’ ini memperlihatkan bahwa tindakan preventif belum menjadi prioritas.
Baca juga:
Syaiful menyebut bahwa tindakan perundungan sering dianggap sepele dan dibiarkan begitu saja jika tidak mendapat perhatian luas.
Baca juga: Terkait Kasus Perundungan dr. Aulia, DPR Serukan Reformasi Pendidikan Dokter Spesialis
Namun, ketika kasus perundungan menjadi viral di media sosial, barulah pihak sekolah dan otoritas terkait bergerak untuk menangani kasus tersebut.
Ketidakseriusan ini menunjukkan betapa lemahnya koordinasi dan komitmen dari para pemangku kebijakan dalam menangani isu perundungan.
Data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) hingga Maret 2024 mengungkapkan betapa mengerikannya dampak perundungan.
Sebanyak 141 laporan bullying diterima KPAI, dengan 46 korban kehilangan nyawa akibat tindakan keji ini.
Selain itu, banyak korban bullying mengalami trauma berkepanjangan dan stres berat, yang berisiko menciptakan siklus kekerasan baru di kemudian hari.
Korban yang tak pulih dari traumanya berpotensi melakukan hal yang sama terhadap orang lain, menciptakan spiral kekerasan yang sulit diputus.
Kasus-kasus ini seharusnya menjadi cermin buruk bagi sistem pendidikan kita, yang seharusnya menjadi ruang aman bagi siswa.
Transformasi pendidikan yang digembar-gemborkan pemerintah justru dipertaruhkan jika isu perundungan ini tidak ditangani secara serius.
Baca juga: Bandung Deklarasikan ‘Zero Bullying’ dan Luncurkan Program Jamuga
Kegagalan dalam melindungi siswa dari perundungan bukan hanya tentang kurangnya pengawasan, tetapi juga menandakan bahwa nilai-nilai kemanusiaan yang seharusnya diutamakan dalam pendidikan semakin terpinggirkan.
Dengan meningkatnya kasus perundungan, pemerintah dan seluruh pihak terkait perlu segera berbenah.
Transformasi pendidikan tidak hanya soal kurikulum, tetapi juga soal menciptakan lingkungan yang aman dan sehat bagi siswa.
Jika tidak ada langkah tegas, kasus perundungan akan terus meningkat, mengancam masa depan generasi muda dan menciptakan luka yang tak kunjung sembuh. (SG-2)