Humaniora

Negara Berkembang bukan Penyebab Krisis Iklim Global, namun Harus Bayar Tinggi

Negara-negara berkembang menghadapi tantangan besar dalam upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim, terutama karena kurangnya dukungan finansial, teknologi, dan kapasitas dari negara-negara maju. 
 

By Rosmery C Sihombing  | Sokoguru.Id
04 September 2024
Perdana Menteri Republik Demokratik Timor Leste, Xanana Gusmao. (Dok. Tangkapan layar/Sokoguru-Fajar Ramadan)

PERDANA Menteri Republik Demokratik Timor Leste, Xanana Gusmao, menyampaikan pesan tegas mengenai ketidakadilan yang dihadapi negara-negara berkembang dalam menghadapi dampak krisis iklim global. 

 

“Meskipun negara-negara berkembang terutama negara-negara pulau kecil tidak menjadi penyebab utama krisis iklim, mereka justru paling menderita akibat dampaknya. Kami yang membayar harga tertinggi,” ujarnya di hadapan para pemimpin dan delegasi dari berbagai negara, pada forum tingkat tinggi High-Level Forum on Multi-Stakeholder Partnerships (HLF-MSP) 2024 di Nusa Dua, Bali. 

 

Pernyataan itu merujuk pada realitas bahwa banyak negara berkembang, meskipun berkontribusi sangat sedikit terhadap emisi global, harus menanggung beban terbesar dari bencana iklim seperti banjir, kekeringan, dan naiknya permukaan air laut.

 

Baca juga: Buka HLF MSP & IAF 2024, Presiden Soroti Menurunnya Solidaritas Internasional

 

Xanana juga menyoroti bagaimana negara-negara di Global Selatan sering kali menjadi korban dari sistem ekonomi global yang tidak adil. 

 

“Negara-negara di Global Selatan terus dieksploitasi oleh sistem ekonomi global, terlalu sering bantuan yang diberikan disertai dengan syarat-syarat yang merugikan kedaulatan nasional kami,” ujarnya. 

 

Hal ini mengacu pada ketergantungan negara-negara berkembang pada bantuan dan pinjaman dari negara-negara maju yang seringkali disertai dengan syarat-syarat yang tidak menguntungkan.

 

Baca juga: Di IAF ke-2 Bali, RI-Zanzibar Berkolaborasi Perkuat Ekonomi Biru

 

Xanana juga mengingatkan bahwa negara-negara berkembang berada di garis depan dari banyak konflik dan krisis global. 

 

“Kita hidup di dunia yang penuh ketidakpastian, kompleksitas, dan perubahan teknologi, tetapi juga di dunia di mana kemiskinan yang mengakar, ketidaksetaraan, krisis lingkungan, dan penderitaan manusia tersebar luas,” imbuhnya. 

 

Xanana juga menyebut konflik global, dari Gaza hingga Ukraina, dari Yaman hingga Sudan, dan dari Haiti hingga negara-negara rapuh lainnya, terus memperburuk kondisi di banyak bagian dunia.

 

Dalam konteks Asia Tenggara, Xanana menyebutkan krisis di Myanmar sebagai contoh nyata dari tantangan yang dihadapi negara-negara di kawasan tersebut. 

 

“Saudara-saudara kita di Myanmar sedang menderita di bawah kekuasaan junta militer, dan demokrasi di sana telah dihancurkan,” ujar Xanana. 

 

Ia menekankan bahwa pembangunan tidak mungkin terjadi tanpa adanya perdamaian, dan bahwa dunia harus bersatu untuk mendukung upaya untuk memulihkan demokrasi di Myanmar.

 

Negara-negara berkembang, imbuh Xanana, menghadapi tantangan besar dalam upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim, terutama karena kurangnya dukungan finansial, teknologi, dan kapasitas dari negara-negara maju. 

 

“Negara-negara maju di Global Utara sering kali gagal memenuhi janji-janji mereka untuk memberikan dukungan yang diperlukan bagi negara-negara berkembang dalam menghadapi krisis iklim,” ujarnya.

 

Di akhir pidatonya, Xanana Gusmao menyerukan tindakan nyata dari komunitas internasional untuk mendukung negara-negara yang paling rentan dan memastikan bahwa pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan dapat tercapai. 

 

“Kita harus bekerja bersama dalam kemitraan untuk membayangkan kembali agenda pembangunan dan membuka potensi penuh dari mereka yang kurang beruntung di dunia ini, demi masa depan yang lebih baik dan damai,” tutupnya. (Fajar Ramadan/SG-1)