Humaniora

Museum Pustaka Peranakan Tionghoa: Melestarikan Budaya Tionghoa, Menghargai Keberagaman

Mengenal sejarah adalah langkah awal untuk membangun persatuan. Dengan menyelamatkan arsip dan melestarikan budaya Tionghoa, masyarakat Indonesia dapat belajar menghargai keberagaman yang menjadi kekuatan bangsa. 
 

By Rosmery C Sihombing  | Sokoguru.Id
30 Januari 2025
Pendiri Museum Pustaka Peranakan Tionghoa, Azmi Abubakar bersama pengunjung. (Dok. Pribadi) 

DI sebuah ruko di kawasan Golden Road BSD, Tangerang Selatan, Banten, terdapat Museum Pustaka Peranakan Tionghoa yang didirikan pada 2011.

 

Siapapun boleh mengunjungi museum tersebut secara gratis, tetapi lebih baik jika datang dengan perjanjian terlebih. Sejak museum pustaka itu dibuka, kerap dikunjungi anak-anak sekolah, guru, masyarakat umum, bahkan orang asing.

 

“Biar saya bisa sediakan teh, sambil ngobrol-ngobrol soal budaya Tionghoa,” Pendiri Museum Pustaka Peranakan Tionghoa, Azmi Abubakar, 53 saat dihubungi Sokoguru, Selasa (28/1) dan Rabu (22/1)

 

Baca juga: Ikon Sejarah Gedung Merdeka dan Museum KAA di Bandung akan Direnovasi

 

Di dalam museum itulah sekitar 40.000-an buku yang terkait dengan budaya Tionghoa dikoleksi.

 

Azmi bercerita, selama bertahun-tahun masyarakat Indonesia peranakan Tionghoa tidak bisa lagi merayakan hari besarnya maupun beribadah secara terang-terangan lagi. Bahkan, identitasnya yang semula adalah Tionghoa diganti dengan sebutan Cina. 

 

Hal itu sejak  diterbitkannya Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1967 Tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina.

 

Baca juga: Vihara Tanda Bhakti, Simbol Harmoni dan Toleransi di Perayaan Imlek


“Akibat dari pelarangan tersebut, selama 30 tahun lebih mereka nggak boleh merayakan adat budaya Tionghoa, seperti imlek, barongsai nggak boleh dimainkan. Jadi kegiatan budaya Tiongkok sama sekali tidak ada,” ungkapnya lagi.

 

Padahal, berdasarkan arsip miliknya, kebudayaan tionghoa sudah berabad-abad berlangsung, akan tetapi tiba-tiba perayaan itu dilarang pada zaman orde baru. 

 

“Pada masa itu, identitas Tionghoa tidak boleh digunakan, termasuk nama-nama Tionghoa, hanya satu-dua yang menggunakannya. Papan nama rumah ibadah yang punya hubungan dengan Tionghoa diturunkan begitupun sekolah-sekolahnya,” papar pelaku usaha di bidang properti ini lagi.

 

Baca juga: Puan Maharani Ajak Rayakan Imlek 2025 dengan Semangat Toleransi dan Persaudaraan

 

Dengan kondisi tersebut, Azmi yang juga aktivis 98 itu berpandangan agenda kebudayaan yang sudah berabad-abad lamanya berlangsung di Indonesia mendadak hilang.  

 

Pada masa itu juga, masyarakat Indonesia keturunan Tionghoa menjalankan segala aktivitasnya secara sembunyi-sembunyi di lingkungan keluarga mereka. 

 

“Perayaan Imlek pascaperistiwa 98, belum sepenuhnya pulih. Masih butuh waktu untuk pulih. Memang di beberapa tempat, perayaan Imlek sudah berlangsung selama 15 hari sampai Gong Xi Fa Cai, seperti di Bogor. Namun, di beberapa tempat akan sangat butuh waktu,” ungkapnya.


Menjaga Ingatan Kolektif 

Kerusuhan besar yang terjadi pada Mei 1998 menjadi salah satu titik balik dalam sejarah Indonesia. Tragedi yang menciderai kemanusiaan itu tidak hanya menyisakan trauma mendalam, tetapi juga menyadarkan banyak pihak akan pentingnya merajut kembali kebinekaan bangsa. 

 

Bagi Azmi Abubakar, peristiwa tersebut menjadi dorongan besar untuk mulai menyelamatkan jejak sejarah dan budaya Tionghoa Indonesia yang selama puluhan tahun telah dimarginalkan.

 

“Peristiwa 13-14 Mei itu di luar bayangan kami. Sebagai mahasiswa yang terlibat aktif dalam gerakan reformasi, kami tidak pernah menyangka bahwa akan terjadi kerusuhan etnis yang begitu memilukan,” kenang Azmi. 

 

Pascatumbangnya rezim Orde Baru, Azmi mulai merenungi akar masalah yang menyebabkan tragedi tersebut. Baginya, kebencian dan prasangka terhadap orang Tionghoa tidak muncul begitu saja, melainkan hasil dari propaganda panjang yang terstruktur selama masa Orde Baru. 

 

“Orang Tionghoa dianggap eksklusif, tidak menjadi bagian dari bangsa ini. Ketika terjadi krisis, mereka dijadikan kambing hitam. Itu tidak adil,” tegas Azmi.

 

Menurutnya, kebencian atau ketidaksukaan terhadap orang Tionghoa disebabkan kurangya informasi mengenai sejarah keturunan Tionghoa di Tanah Air. Sebagian besar masyarakat kurang cukup pengetahuan bahwa mereka tidak bsa dipisahkan dari budaya Indonesia.

 

Berpijak dari keinginan untuk menyediakan informasi tentang budaya Tionghoa, pada awal 2000-an, tidak lama setelah reformasi, Azmi pun mulai aktif mengumpulkan arsip-arsip yang berkaitan dengan sejarah dan budaya Tionghoa di Indonesia. 

 

Ia melihat pentingnya menyelamatkan dokumen, foto, manuskrip, dan artefak budaya untuk memastikan warisan tersebut tidak hilang begitu saja. 

 

 

Azmi Abubakar (Dok. Pribadi)

Bagi lulusan Teknik Sipil dari Institut Teknologi Indonesia (ITI) Serpong itu, langkah yang diambilnya bukan hanya soal melestarikan masa lalu, tetapi juga upaya untuk membangun kesadaran generasi muda bahwa komunitas Tionghoa adalah bagian tak terpisahkan dari sejarah Indonesia.

 

“Kalau bukan kita yang menjaga, siapa lagi? Budaya Tionghoa adalah bagian dari wajah Indonesia,” imbuhnya.

 

Pada tahun 2011, Azmi resmi mendirikan Museum Pustaka Peranakan Tionghoa sebagai wadah untuk menyimpan dan memamerkan koleksi yang telah ia kumpulkan. 

 

Awalnya ia mengontrak sebuah ruko yang ia buat menjadi ruang untuk mengenang, belajar, dan menghormati perjalanan panjang masyarakat Tionghoa di Indonesia. Sampai beberapa tahun kemudian ia membeli sendiri ruko seluas 100 meter persegi itu.

 

Menariknya, pria dengan dua anak itu, membangun museum tersebut dengan biaya sendiri. Azmi selalu menolak ketika ada pihak lain menawarkan pendanaan.

 

“Reformasi memberikan ruang untuk kembali merayakan kebudayaan Tionghoa, tetapi itu bukan berarti semuanya pulih begitu saja. Trauma masih ada, generasi muda banyak yang kehilangan jejak akar budayanya. Maka, museum ini hadir untuk mengisi kekosongan itu,” tambahnya.

 

Azmi percaya bahwa mengenal sejarah adalah langkah awal untuk membangun persatuan. Ia berharap bahwa dengan menyelamatkan arsip dan melestarikan budaya Tionghoa, masyarakat Indonesia dapat belajar menghargai keberagaman yang menjadi kekuatan bangsa. 

 

Tragedi 1998, meski menjadi luka yang dalam, menjadi pengingat bahwa tidak ada bangsa yang utuh tanpa saling menghormati dan merangkul perbedaan.

 

Sejarah yang terlupakan

Masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia memiliki kontribusi besar yang tersebar hampir di semua bidang kehidupan, bukan hanya di perdagangan. 

 

Sama seperti suku Aceh, Jawa, atau Makassar, mereka juga memiliki jejak perjuangan melawan penjajahan. Namun, sejarah ini seringkali terpinggirkan oleh stereotip negatif yang diwariskan oleh narasi Orde Baru.

 

“Orang Tionghoa banyak juga yang ikut berjuang, mereka punya jasa besar dalam sejarah kita. Tapi sayangnya, itu tidak diketahui masyarakat. Yang dikenali hanya stigma negatif,” ujar

 

Di bidang sastra, misalnya, masyarakat Tionghoa memainkan peran besar dalam perkembangan sastra Melayu. Sastra Melayu Tionghoa, sebuah tradisi sastra yang berkembang sejak abad ke-18, telah melahirkan banyak karya yang ditulis dalam bahasa Melayu rendah atau Melayu Pasar. Bahasa ini memang dianggap lebih sederhana, namun sarat dengan kreativitas dan inovasi literatur.

 

“Banyak karya sastra Melayu Tionghoa yang dihasilkan pada masa itu. Bahkan, lahirnya Balai Pustaka bisa dilihat sebagai bentuk antitesis terhadap karya-karya sastra peranakan Tionghoa,” jelas Azmi.

 

Azmi menambahkan, orang Tionghoa sudah menulis karya sastra sejak tahun 1800-an. Karya-karya itu bukan hanya mencerminkan identitas peranakan, tetapi juga menjadi dokumentasi penting mengenai kehidupan masyarakat pada masa itu. Namun, tradisi ini perlahan-lahan memudar dan tidak banyak diketahui oleh generasi sekarang.

 

Selain sastra, kontribusi masyarakat Tionghoa juga terlihat di bidang olahraga, pendidikan, dan perjuangan kemerdekaan. Banyak nama pejuang Tionghoa yang terlupakan dalam buku-buku sejarah, seperti Lim Poon Hian, Tjoa Boen Soe, Siauw Giok Tjhan, hingga Tan Sin Ko. 

 

Mereka turut serta dalam berbagai perjuangan, baik dalam diplomasi, perlawanan fisik, maupun pengembangan pendidikan untuk membangun bangsa.

 

“Kalau kita kenal Diponegoro, Pattimura, atau Sultan Hasanuddin, seharusnya kita juga tahu nama-nama seperti Lim Poon Hian. Mereka ini pahlawan bangsa, tapi jarang ada di buku sejarah kita,” lanjut Azmi.

 

Rekor dunia Muri

Peristiwa kerusuhan Mei 1998 semakin mendorong Azmi untuk mengumpulkan fakta dan arsip yang bisa membuka mata masyarakat. Ia menyadari bahwa minimnya informasi yang akurat tentang kontribusi Tionghoa menjadi salah satu penyebab menguatnya stigma negatif.

 

“Orang Tionghoa dianggap eksklusif, padahal banyak yang hidup sederhana. Sebagian besar sama seperti suku lain, bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tapi karena propaganda, mereka jadi kambing hitam,” kata Azmi.

 

Pasca-1998, Azmi mulai mengumpulkan dokumen, buku, dan artikel majalah yang mencatat kontribusi orang Tionghoa di Indonesia. Awalnya, ia tidak terpikir untuk mendirikan museum. Baginya, yang penting adalah memastikan bahwa fakta-fakta ini tidak hilang dan bisa menjadi referensi untuk masyarakat.

 

“Waktu itu saya berpikir, kita harus memberikan informasi yang tepat kepada masyarakat. Kalau mereka tahu bahwa orang Tionghoa juga ikut berjuang, punya peran di berbagai bidang, provokasi-provokasi seperti yang terjadi di 1998 bisa diminimalisir,” tegas pria yang sering menjadi pembicara di luar negeri dalam diskusi terkait peranakan Tionghoa.

 

Melalui Museum Pustaka Peranakan Tionghoa, Azmi mulanya hanya berharap banyak orang di luar sahabat sebangsa Tionghoa yang akhirnya datang mencari tahu. Namun, pada kenyataannya banyak juga sahabat sebangsa itu juga ingin mengetahui bagaimana sejarah mereka dan budaya mereka. 

 

Apa yang telah dilakukan Azmi pun berbuah  manis. Pada 2023, Museum Pustaka Peranakan Tionghoa masuk Museum Rekor Dunia Indonesia (Muri). (Fajar Ramadan/Ros/SG-1)