Humaniora

Di Forum OECD Mensos Risma Tekankan Infrastruktur Bencana Harus Berorientasi pada Warga

Dalam diskusi OECD di Paris, Mensos Risma memaparkan bagaimana antisipasi bencana, penanganan selama bencana, dan pemulihan pascabencana di Indonesia yang justru berbasis masyarakat.
 

By Rosmery C Sihombing  | Sokoguru.Id
13 April 2024
Dok. Kemensos

KETAHANAN infrastruktur menjadi pembahasan penting mengingat ada tren peningkatan bencana alam yang signifikan akhir-akhir ini, seperti banjir, badai, tanah longsor, gempa, serta kekeringan/kebakaran. 

 

Pelibatan masyarakat menjadi isu penting karena tidak mudah dilakukan menurut pengalaman di banyak negara.

 

Demikian topik diskusi yang mengemuka pada acara   Forum Infrastruktur Organisation for  Economic Cooperation and Development (OECD) Rabu (10/4) siang waktu Perancis. 

 

Baca juga: Pemerintah Bangun Gedung AMC, RSUD Anutapura Pascabencana Kota Palu pada 2018

 

Hadir dalam diskusi yang bertujuan untuk menggali mekanisme efektif untuk melibatkan masyarakat dan pemangku kepentingan dalam upaya membangun ketahanan infrastruktur itu empat pembicara, yaitu Menteri Sosial (Mensos) RI Tri Rismaharini, Préfet (Provinsi) Loir-et-Cher,Perancis Xavier Pelletier, dan Direktur AntarKementerian untuk Transformasi Publik (DITP) Perancis Grégoire Tirot, serta Barbara Minguez Garcia dari Manajemen Bencana McAllister & Craig, merangkap Konsultan World Bank.  Tampil sebagai moderator Gillian Dorner dari Direktorat Tata Kelola Publik OECD.

 

Pada kesempatan itu Mensos Risma memaparkan tentang bagaimana antisipasi bencana, penanganan selama bencana, dan pemulihan pascabencana di Indonesia yang justru berbasis masyarakat, seperti dilansir kemensos.go.id, Kamis (11/4) dari Paris.

 

“Kementerian Sosial RI telah melatih dan membina lebih dari 25.000  relawan Taruna Siaga Bencana (Tagana) dari unsur masyarakat yang tersebar di seluruh Indonesia. Ada program Tagana Masuk Sekolah untuk melatih penyelamatan diri, evakuasi, termasuk menghadapi gempa, dan tsunami. Ada program Kampung Siaga Bencana untuk menggalang kesiapan menghadapi bencana di lingkungan yang rawan bencana,” ujarnya di forum internasional tersebut. 

 

Baca juga: Antisipasi Bencana Banjir, Pemkot Surabaya Tambah Empat Pos Pantau

 

Selain itu, lanjutnya,  ada lebih dari 49.000  pendamping sosial yang dapat membantu saat terjadi bencana dan dalam masa pemulihan setelah bencana. 

 

“Ada pula 613 Lumbung Sosial di 328 kabupaten / kota yang dikelola oleh komunitas untuk menyediakan logistik yang dibutuhkan masyarakat ketika terjadi bencana. Di dalamnya ada persediaan makanan, pakaian, tenda, tanki air, penjernih air, dan peralatan penerangan memakai energi matahari. Cadangan logistik tersebut untuk mengantisipasi isolasi akibat rusaknya infrastruktur transportasi,” imbuh Risma..

 

Lebih lanjut, Risma memberi contoh penanganan krisis pangan akibat cuaca ekstrem dingin di Papua Tengah dan Papua Pegunungan, di mana distribusi bantuan pangan dibantu oleh komunitas-komunitas gereja dan didukung Tentara Nasional Indonesia (TNI).  

 

“Selain itu terdapat  studi kasus di Wini, Nusa Tenggara Timur, bantuan infrastruktur air di daerah bencana dikelola oleh masyarakat telah  berhasil meningkatkan penghasilan mereka, melalui penanaman bunga matahari serta sayuran seperti  cabai dan tomat,” jelasnya.

 

Command Center

 

Risma memaparkan semua sumber daya manusia  seperti Tagana dan Pendamping Sosial yang mencapai 74.000 personal tersebut terhubung secara digital dengan Command Center. 

 

Dari peringatan yang didapat dari BMKG, hanya perlu waktu 10 menit untuk seseorang menerima instruksi, dan hanya perlu waktu 30 menit bagi SDM yang menerima instruksi di lokasi bencana melaporkan kondisi sekitar yang disertai foto-foto untuk pengambilan Keputusan di Command Center. 

 

“Solusi teknologi digital ini telah diimplementasikan melengkapi dan berintegrasi dengan solusi berbasis masyarakat,” imbuhnya.

 

Dalam diskusi tersebut, jawaban Risma pun cukup mengejutkan semua peserta ketika Gillian Dorner melontarkan pertanyaan kritis tentang apa yang menjadi kunci sukses Surabaya sebagai kota yang tahan bencana ketika Risma menjadi walikota Surabaya, padahal  Surabaya rentan banjir karena ketinggiannya hanya 2 meter di atas permukaan laut. 

 

“Kemampuan infrastruktur pengendali banjir justru datang dari partisipasi masyarakat  sebagai kader lingkungan  dalam mengelola sampah. Dengan melakukan pemilahan dan daur ulang dalam komunitasnya, telah mereduksi sampah Surabaya ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) menjadi sekitar 35% saja per harinya,” jawab Risma. 

 

Partisipasi warga tersebut serta  didukung pembangunan infrastruktur kota, lanjutnya,  telah menjadikan Surabaya sebagai kota yang bebas banjir saat itu.

 

Sebagai Menteri Sosial, Risma telah menerapkan pengalaman pelibatan komunitas tersebut menjadi strategi di tingkat nasional. Agar masyarakat dapat dilibatkan, penting untuk memahami apa yang dipikirkan masyarakat untuk menjadi prioritas dalam penanganan dampak bencana. 

 

Contohnya ketika menangani dampak gempa di Padang, orang tidak mau meninggalkan rumah mereka, karena tidak mau meninggalkan harta bendanya. Belajar dari budaya tersebut, tenda yang dibutuhkan adalah berukuran untuk keluarga yang dirancangnya sendiri, bukan tenda besar yang menampung puluhan orang. 

 

Dari seringnya gempa, Mensos Risma merancang sendiri rumah tahan gempa, yang telah menjadi model bantuan rumah pasca gempa. Diharapkan rancangan rumah tanpa gempa tersebut dapat ditiru masyarakat sekitar sebagai bentuk antisipasi gempa. 

 

Jawaban Mensos tersebut telah dicatat sebagai kesimpulan diskusi, bahwa pemulihan infrastruktur seharusnya tidak hanya direncanakan secara top-down, tetapi juga memperhatikan apa yang menjadi pemikiran masyarakat (bottom-up). Dan sangatlah menarik jika seorang Menteri di tingkat Nasional, telah memperoleh pengalaman yang tuntas di tingkat lokalnya. 

 

Barbara pun setuju dengan strategi Mensos Risma tersebut dan mengonfirmasi pengalamannya sebagai konsultan Bank Dunia di berbagai negara. Gillian menutup dengan pernyataan bahwa infrastruktur harus berorientasi pada warga, persis sama dengan orientasi yang telah diterapkan Mensos Risma di Kementerian Sosial. (SG-1)