DI tengah hingar-bingar Kota Bandung, seorang pria dengan sepeda onthelnya menjadi saksi bisu perjuangan dan pengabdian yang tak terbayangkan oleh banyak orang.
Abah Landoeng, pria kelahiran 11 Juli 1926, telah mencatatkan namanya dalam sejarah sebagai sosok yang berperan penting dalam perhelatan Konferensi Asia Afrika (KAA) 1955 dan perjuangan melawan buta huruf di Tanah Air.
Mengumpulkan Mobil untuk KAA 1955
Ketika Konferensi Asia Afrika 1955 digelar di Bandung, Abah Landoeng sebagaimana dilansir situs Pemkot Bandung, Sabtu (29/6), mendapatkan tugas mulia namun tidak mudah: mengumpulkan mobil untuk para delegasi peserta KAA.
Baca juga: Asia Africa Festival 2024 Siap Semarakkan Bandung dengan Keseruan Tak Terlupakan
Setiap sore selepas mengajar, ia mengayuh sepeda onthelnya berkeliling kota mencari mobil-mobil yang dapat dipinjamkan.
Dalam dua minggu, Abah Landoeng berhasil mengumpulkan 14 mobil mewah pada masanya, seperti Mercy, Dodge, dan Impala.
Para pemilik mobil yang rela meminjamkan kendaraannya kepada Abah Landoeng menaruh kepercayaan penuh padanya.
Mereka mengenalnya sebagai seorang guru yang tulus dan berdedikasi.
Baca juga: Bandung Siap Hadirkan Festival Asia Afrika 2024 Lebih Meriah dan Berbeda
Mobil-mobil tersebut, tanpa perlu disewa, kemudian digunakan oleh para delegasi, memberikan kenyamanan dan keistimewaan yang layak mereka dapatkan selama konferensi berlangsung.
Diberi Amanah oleh Presiden Sukarno
Pengabdian Abah Landoeng tidak berhenti di situ. Presiden Sukarno pernah menugaskannya sebagai Pawang Hujan selama KAA.
Selepas konferensi, Abah Landoeng kembali ke profesinya sebagai guru.
Pada tahun 1963, atas permintaan Sukarno, ia diberangkatkan ke Malaysia untuk memberantas buta huruf di negeri jiran tersebut.
Bagian dari Sejarah Lagu "Oemar Bakrie"
Pria yang kini telah memasuki usia senja ini juga tercatat dalam sejarah musik Indonesia.
Ia menjadi inspirasi dalam pembuatan lagu "Oemar Bakrie" yang dinyanyikan oleh Iwan Fals.
Baca juga: Gowes Santai Sambil Belajar Sejarah: Jejak Perjuangan Bung Karno di Kota Bandung
Lagu ini sangat populer di kalangan generasi 90-an, menggambarkan perjuangan seorang guru yang penuh dedikasi.
Pejuang Pendidikan Sejati
Landoeng, atau yang akrab disapa Abah Landoeng, menempuh pendidikan di Algemeen Middelbare School (AMS), sebuah privilese yang didapatkannya karena ayahnya turut dalam pembangunan Gedung Sate.
Sejak muda, ia sudah menunjukkan semangat juang yang luar biasa.
Bekerja sebagai pengambil bola di lapangan golf dan tenis, ia mengumpulkan sen demi sen untuk membeli beras dan sembako.
Selepas lulus dari AMS sekitar tahun 1942, Abah Landoeng berkeliling Kota Bandung dengan sepeda kumbangnya.
Di setiap perjalanannya, ia bertanya kepada tukang panggul atau petani apakah mereka bisa membaca.
Jika belum, Abah Landoeng akan berhenti dan mengajar mereka membaca dengan papan tulis kecil dan kapur yang ia bawa di sepeda kumbangnya.
Tidak hanya itu, Abah Landoeng juga mengajari para saudagar kaya di Pasar Baru yang juga buta huruf.
Dari para saudagar inilah, ia sering mendapatkan makanan dan minuman sebagai bentuk terima kasih.
Mengajar dan Berjuang
Selama masa kemerdekaan, Abah Landoeng diangkat menjadi guru di SMPN 4 Bandung. Namun, statusnya sebagai guru tidak menghentikannya untuk turut andil dalam perang melawan penjajahan Belanda dan Jepang.
Selepas perang, pada tahun 1950, ia diberangkatkan ke Malaysia untuk mengatasi masalah buta huruf, menunjukkan betapa luasnya pengabdiannya terhadap pendidikan.
Abah Landoeng adalah contoh nyata seorang pejuang pendidikan yang tak mengenal lelah. Kisah hidupnya yang penuh dengan pengorbanan dan dedikasi memberikan inspirasi bagi banyak orang.
Di usianya yang kini senja, Abah Landoeng tetap menjadi simbol semangat juang dan ketulusan hati yang akan selalu dikenang sepanjang masa. (SG-2)