Ekonomi

Untuk Jaga Stabilitas dan Dorong Pertumbuhan BI Rate Tetap 6,00%

Kebijakan sistem pembayaran diarahkan untuk tetap memperkuat keandalan infrastruktur dan struktur industri sistem pembayaran, serta memperluas akseptasi digitalisasi sistem pembayaran.
 

By Rosmery C Sihombing  | Sokoguru.Id
21 Maret 2024
Dok. Bank Indonesia

BANK Indonesia memutuskan  mempertahankan BI-Rate sebesar 6,00%, suku bunga Deposit Facility sebesar 5,25%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 6,75%. 

 

Demikian hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 19-20 Maret 2024, yang disampaikan Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo dalam konferensi pers di Gedung Bank Indonesia Jakarta, Rabu (20/3). 

 

“Keputusan mempertahankan BI-Rate pada level 6,00%,  tetap konsisten dengan fokus kebijakan moneter yang pro-stability, yaitu untuk menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah serta langkah pre-emptive dan forward looking untuk memastikan inflasi tetap terkendali dalam sasaran 2,5±1% pada 2024,” jelasnya yang dilansir bi.go.id

 

Baca juga: Bank Indonesia Optimistis Hadapi Tantangan Pasar Keuangan Global

 

Sementara itu, lanjutnya, kebijakan makroprudensial dan sistem pembayaran tetap pro-growth untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Kebijakan makroprudensial longgar terus ditempuh untuk mendorong kredit/pembiayaan perbankan kepada dunia usaha dan rumah tangga. 

 

“Kebijakan sistem pembayaran diarahkan untuk tetap memperkuat keandalan infrastruktur dan struktur industri sistem pembayaran, serta memperluas akseptasi digitalisasi sistem pembayaran,” imbuh Perry.

 

Perkuat bauran kebijakan

Lebih lanjut, ia menjelaskan, Bank Indonesia terus memperkuat bauran kebijakan moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran untuk menjaga stabilitas dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, melalui upaya sebagai berikut:

  1. Stabilisasi nilai tukar Rupiah melalui intervensi di pasar valas pada transaksi spot, Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF), dan Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder;
  2. Penguatan strategi operasi moneter yang pro-market untuk efektivitas kebijakan moneter, termasuk optimalisasi Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI), dan Sukuk Valas Bank Indonesia (SUVBI);
  3. Perluasan pendalaman pasar uang dan pasar valas melalui peningkatan volume dan jumlah pelaku transaksi repurchase agreement (repo);
  4. Penguatan kebijakan transparansi Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) dengan pendalaman suku bunga kredit berdasarkan sektor ekonomi (Lampiran);
  5. Penguatan aspek pelindungan konsumen dalam inovasi produk melalui kampanye literasi digital, termasuk melalui QRIS Jelajah Indonesia dan perluasan QRIS antarnegara.

Untuk menjaga stabilitas makro ekonomi dan mendukung pertumbuhan ekonomi, koordinasi kebijakan Bank Indonesia dan kebijakan Pemerintah terus ditingkatkan. 

 

Baca juga: Bank Indonesia Prakirakan Pertumbuhan Ekonomi RI Meningkat 4,7-5,5% pada 2024

 

Perry mengatakan Bank Indonesia juga memperkuat koordinasi kebijakan dengan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan mitra strategis, termasuk program Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP) di berbagai daerah dalam Tim Pengendalian Inflasi Pusat dan Daerah (TPIP dan TPID), serta Percepatan dan Perluasan Digitalisasi Transaksi Pemerintah Pusat dan Daerah (P2DD). 

 

Bank Indonesia memperkuat sinergi kebijakan dengan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) untuk menjaga stabilitas sistem keuangan dan mendorong kredit/pembiayaan kepada dunia usaha, khususnya pada sektor-sektor prioritas. 

 

Bank Indonesia juga terus memperkuat dan memperluas kerja sama internasional, termasuk mempercepat konektivitas sistem pembayaran dan transaksi menggunakan mata uang lokal.

 

Menurut Perry, momentum pemulihan ekonomi global berlanjut  di tengah ketidakpastian pasar keuangan yang masih tinggi. Pertumbuhan ekonomi global pada 2024 diprakirakan mencapai 3,0%. Pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (AS) tetap kuat ditopang oleh permintaan domestik. India juga tumbuh lebih baik dari prakiraan didukung oleh investasi pemerintah dan swasta. 

 

“Sementara itu, prospek ekonomi Tiongkok tetap belum kuat, meskipun sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan proyeksi sebelumnya didorong peningkatan stimulus fiskal.” 

 

Harga komoditas, sambungnya,  meningkat didorong oleh naiknya biaya angkut karena ketegangan geopolitik dan ketatnya pasokan akibat faktor cuaca. Berbagai perkembangan tersebut mengakibatkan laju penurunan inflasi global tertahan, dengan inflasi di negara maju masih di atas targetnya. 

 

Suku bunga Fed Funds Rate (FFR) diprakirakan baru menurun pada semester II 2024. Ketidakpastian pasar keuangan global masih tinggi tecermin pada yield US Treasury yang meningkat sejalan dengan premi risiko jangka panjang dan inflasi yang masih di atas prakiraan pasar. 

 

Perkembangan itu mendorong berlanjutnya penguatan dolar AS secara global, lebih terbatasnya aliran masuk modal asing, dan meningkatnya tekanan pelemahan nilai tukar di negara emerging market. Kondisi tersebut memerlukan penguatan respons kebijakan untuk memitigasi dampak negatif rambatan global tersebut, termasuk di Indonesia. (SG-1)