Soko Bisnis

Penjualan Barang Bajakan Bisa Diberantas dengan Regulasi Sertifikat Merek

Besarnya volume impor barang bajakan sulit dibendung. Salah satu cara memberantasnya dengan membuat regulasi yang mensyaratkan adanya sertifikat merek.

By Rosmery C Sihombing  | Sokoguru.Id
22 April 2025
<p>Juru Bicara Kementerian Perindustrian  (Kemenperin), Febri Hendri Antoni Arief. (Dok. Kemenperin)</p>

Juru Bicara Kementerian Perindustrian  (Kemenperin), Febri Hendri Antoni Arief. (Dok. Kemenperin)

SOKOGURU, JAKARTA-  Dalam laporan tahunan 2025 National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers, Amerika Serikat (AS) menyoroti barang bajakan yang dijual di Mangga Dua Jakarta. 

Laporan yang dibuat oleh Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (USTR) itu menyoroti pelanggaran hak kekayaan intelektual (HaKI), barang bajakan, dan hambatan dagang yang masih mengganggu akses pasar perusahaan AS di Indonesia.

Sebagian besar barang bajakan yang dijual merupakan produk impor yang masuk Indonesia melalui mekanisme impor biasa atau e-commerce dengan memanfaatkan gudang Pusat Logistik Berikat (PLB). 

Baca juga: Produk Impor Tak Sesuai Ketentuan Tembus Rp15 Miliar, Kemendag Siap Lakukan Pemusnahan

Juru Bicara Kementerian Perindustrian  (Kemenperin), Febri Hendri Antoni Arief pun Merespons laporan tersebut.

Menurutnya, salah satu cara memberantas penjualan barang bajakan itu dengan membuat regulasi yang mensyaratkan adanya sertifikat merek. Para importir maupun pihak penjual barang impor yang tayang di halaman e-commerce itu wajib memegang sertifikat merek.

“Kemenperin sudah berinisiatif memasukkan syarat sertifikat merek yang harus dimiliki oleh importir ketika meminta rekomendasi impor. Inisiatif itu berupa Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 5 Tahun 2024 tentang Tata Cara Penerbitan Pertimbangan Teknis Impor Tekstil, Produk Tekstil (TPT), Tas, dan Alas Kaki,” ujarnya dalam keterangan resmi di Jakarta, Selasa, 22 April 2025. 

Baca juga: Prabowo Siapkan Jurus Khusus untuk UMKM, Impor Non-Kuota Jadi Senjata Baru!

Melalui Permenperin tersebut, lanjut Febri, importir yang tidak memiliki sertifikat merek tidak akan mendapatkan rekomendasi impor dari Kemenperin ketika mengimpor produk TPT, tas dan alas kaki. 

Jadi, ujarnya, importir nakal yang akan mengimpor tiga komoditas tersebut tidak akan mampu membawa barang bajakannya masuk ke pasar domestik Indonesia jika tidak memegang sertifikat merek dari prinsipal.

Kemenperin telah menerbitkan Permenperin No. 5 Tahun 2024 yang mensyaratkan importir harus memegang sertifikat merek dari pemegang merek ketika mereka meminta Pertek (Pertimbangan Teknis) sebagai bagian pemenuhan syarat PI (Permohonan Impor) Kemendag. 

“Tujuannya, menyaring dan mencegah agar barang bajakan tidak diimpor masuk ke pasar domestik Indonesia,” tambahnya.

Namun, katanya lagi, regulasi tersebut tidak disukai importir nakal yang ingin mengimpor barang bajakan masuk Indonesia. Kebijakan itu juga kurang mendapat dukungan oleh kantor K/L (Kementerian/Lembaga) lain. 

“K/L lain malah meminta diskresi dan relaksasi pemberlakuan kebijakan tersebut. Ketiadaan regulasi yang mewajibkan importir harus memiliki sertifikat merek dari prinsipal atau pemegang merek atas barang yang diimpornya itu menyebabkan barang bajakan masuk dengan mudah ke Indonesia,” jelas Febri. 

Jadi, menurutnya, wajar jika barang bajakan masih banyak beredar di pasar domestik Indonesia terutama di Mangga Dua dan masuk dalam laporan tahunan USTR.

“Sayangnya Permenperin No. 5 Tahun 2024 tersebut berumur pendek dan tidak berlaku lagi karena Permendag No. 36 Tahun 2024 sebagai dasar terbitnya regulasi tersebut tiba-tiba diubah oleh kantor K/L lain menjadi Permendag No. 8 Tahun 2024 pada bulan Mei 2024. 

Akibatnya, tidak ada kewajiban importir untuk menyampaikan sertifikat merek dari prinsipal ketika mereka mengajukan permohonan impor pada Kemendag dan Kemenperin. 

Padahal sertifikat merek yang dipegang oleh importir adalah penyaring utama agar barang bajakan tidak diimpor masuk ke pasar domestik Indonesia oleh importir terutama importir umum,” papar Febri.

Kemenperin menilai upaya pengawasan dan penindakan peredaran barang bajakan di pasar domestik tidak akan berjalan efektif mengingat besarnya volume impor barang bajakan dan luasnya pasar domestik Indonesia. 

Selain itu, delik aduan sebagai awal dan dasar penindakan juga sulit dipenuhi karena sebagian besar prinsipal atau pemegang merek berada di luar negeri. 

Oleh karena itu, Kemenperin mendorong prinsip lebih baik mencegah barang bajakan impor melalui regulasi daripada menindaknya di pasar dalam negeri.

“Lebih baik mencegah barang bajakan masuk lewat regulasi impor atau kebijakan non tariff barrier/non tariff measure daripada mengawasinya di pasar domestik. Kami belum pernah mendengar ada pengawasan dan penindakan barang bajakan di e-commerce atau di PLB,” ujar Febri.

 

Kolaborasi dengan Komdigi

Lebih lanjut, Febri mengatakan, Kemenperin memiliki praktik baik (good practices) dalam memberantas barang bajakan atau barang ilegal di sektor Handphone, Komputer Genggam dan Tablet (HKT) bersama Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi). 

Ketika banyak smartphone bajakan dan selundupan beredar di Indonesia, Kemenperin memberlakukan kebijakan pendaftaran IMEI setiap smartphone yang diimpor dan dijual di Indonesia. 

Produsen, importir, distributor (ATPM atau APM) harus menunjukkan sertifikat merek ketika mereka mengajukan permohonan IMEI pada Kemenperin. Saat ini, peredaran smartphone ilegal atau barang selundupan dari luar negeri sudah berkurang signifikan atau tidak ada sama sekali. 

Terkait dengan upaya kantor K/L lain memasukkan tingkat komponen dalam negeri Information Communication and Technology (TKDN ICT) dalam daftar regulasi yang dinegosiasikan dengan pemerintah Amerika Serikat, menurut Febri, saat ini belum ada kebijakan khusus. Yang ada saat ini adalah kebijakan TKDN bagi produk akhir manufaktur yang dibeli melalui belanja APBN, APBD, BUMN dan BUMD. 

Sedangkan kebijakan TKDN HKT diberlakukan bagi produk Handphone, Komputer Genggam dan Tablet yang diproduksi industri dalam negeri maupun impor dan agar bisa diperjualbelikan di pasar domestik terutama dibeli oleh rumah tangga dan swasta.

“Jadi, regulasi TKDN ICT belum ada, terus apanya akan di deregulasi? Bagaimana kantor K/L lain akan menderegulasi jika aturannya saja belum ada,” ujar Febri.

Ia melihat,  adanya kemungkinan ingin membuat kebijakan TKDN baru terkait ICT seperti kebijakan TKDN HKT untuk menfasilitasi empat perusahaan Amerika. 

Selama ini kebutuhan server untuk data center dalam negeri baik yang dibeli pemerintah dan swasta dipenuhi melalui impor dan tidak membutuhkan kebijakan TKDN. Industri dalam negeri belum mampu memproduksi produk server tersebut.

Sebagaimana diketahui, kantor Kemenko Perekonomian memasukkan relaksasi TKDN ICT ke dalam isu negosiasi dengan pemerintah Amerika Serikat. Isu ini diangkat untuk memfasilitasi empat perusahaan AS, yakni Apple Inc, GE (General Electric), Oracle, dan Microsoft agar mudah berbisnis di Indonesia.

Febri menyampaikan Kemenperin belum pernah menerima keluhan dari empat perusahaan Amerika tersebut terkait dengan TKDN ICT. 

Begitu juga dari pemerintah dan BUMN, belum pernah menyampaikan keluhan kebijakan TKDN terkait dengan pengadaan server. 

Pengadaan server untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri biasanya dipenuhi melalui impor. Dan hal tersebut tidak membutuhkan kebijakan TKDN.

Apple Inc misalnya, perusahaan ini belum pernah menyampaikan keluhan terkait TKDN HKT. Sebaliknya, perusahaan ini yang mengusulkan adanya pasal skema 3 riset dan inovasi yang ada dalam Permenperin No. 29 Tahun 2017  untuk memfasilitasi kepentingan penjualan produk smartphone-nya di Indonesia.

Menurut Febri, pihaknya tegak lurus dengan arahan dan perintah Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka terkait dengan evaluasi TKDN. Kemenperin terbuka dengan masukan dan kritik atas kebijakan TKDN dan implementasinya. 

Kemenperin sudah mulai melakukan mengevaluasi  kebijakan TKDN sejak Januari 2025 sebelum Presiden AS Donald Trump mengumumkan kebijakan tarif resiprokalnya awal April 2025.

“Kami sudah melaksanakan perintah Presiden Prabowo dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka terkait dengan evaluasi kebijakan TKDN. Bapak Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang Kartasasmita beserta jajaran pejabat di Kemenperin telah memulai evaluasi kebijakan TKDN pada bulan Januari 2025 sebelum adanya arahan Presiden dalam Sarasehan Ekonomi di Gedung Mandiri ataupun sebelum Presiden Trump mengumumkan kebijakan tarif resiprokalnya,” ujar Febri. (SG-1)