SOKOGURU, JAKARTA: Menjelang Hari Raya Idulfitri 1446 H, tren konsumsi masyarakat meningkat, termasuk dalam sektor fesyen.
Namun, di tengah lonjakan permintaan, Kementerian Perdagangan (Kemendag) menegaskan bahwa impor pakaian bekas tetap dilarang dan tidak ada tren peningkatan dalam peredarannya.
Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso secara tegas menyatakan bahwa aturan tersebut sudah final dan berlaku berdasarkan ketentuan yang ada.
Baca juga: Kemendag, Lazada, dan Lampu.id Kolaborasi Dorong Konsumen Berdaya dalam Ekosistem Digital
“Kan baju bekas itu nggak boleh impor. Ya nggak boleh. Kan aturannya, nggak. Jadi nggak ada trennya, memang nggak boleh [impor baju bekas],” ujar Budi saat ditemui di Wisma Bisnis Indonesia, Jakarta, Selasa (25/3).
Pernyataan ini merespons dugaan maraknya pakaian bekas impor menjelang Lebaran, di mana masyarakat mencari alternatif busana dengan harga lebih terjangkau.
Meski demikian, Budi menepis kemungkinan adanya tren lonjakan impor barang bekas tersebut, mengingat larangan sudah jelas tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) dan Undang-Undang.
Aturan Tegas, Tapi Kenapa Pasar Baju Bekas Masih Bergeliat?
Direktur Jenderal (Dirjen) Perdagangan Dalam Negeri Kemendag, Iqbal Shoffan Shofwan, menjelaskan bahwa larangan impor pakaian bekas diatur dalam Permendag Nomor 40 Tahun 2022 dan Permendag Nomor 51 Tahun 2015.
Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa perdagangan pakaian bekas tetap eksis di sejumlah daerah, bahkan menjadi bisnis yang cukup menjanjikan.
Salah satu alasan utama maraknya perdagangan baju bekas impor adalah harga yang jauh lebih murah dibandingkan produk lokal.
Baca juga: Kemendag dan Polri Bongkar Kecurangan di SPBU, Bogo, Konsumen Rugi Miliaran Rupiah
Banyak konsumen, terutama dari kelas menengah ke bawah, menganggap pakaian bekas sebagai alternatif terjangkau dengan kualitas yang masih layak pakai.
Di sisi lain, pelaku industri garmen lokal semakin terdesak karena harus bersaing dengan produk luar negeri yang dijual dengan harga miring.
Dampak Ekonomi dan Kesehatan yang Perlu Diwaspadai
Budi menyoroti bahwa peredaran pakaian bekas impor yang semakin marak berpotensi merugikan industri tekstil nasional.
“Jika tren ini dibiarkan, produsen pakaian lokal akan semakin tergerus. Harga yang murah memang menarik bagi konsumen, tapi dampaknya bisa menghancurkan industri kita sendiri,” tegasnya.
Selain dampak ekonomi, aspek kesehatan juga menjadi perhatian utama. Pakaian bekas yang berasal dari luar negeri berisiko membawa penyakit atau mengandung zat berbahaya.
“Pakaian bekas berpotensi membawa kapang atau jamur yang bisa menyebabkan alergi, iritasi kulit, bahkan infeksi karena kontak langsung dengan tubuh,” imbuh Budi.
Strategi Kemendag: Penindakan vs. Pembinaan?
Menghadapi tantangan ini, Kemendag telah menggandeng Ditjen Bea Cukai, Bakamla TNI, dan Polri untuk memperketat pengawasan, terutama di jalur-jalur masuk ilegal seperti pelabuhan tikus.
Baca juga: Kemendag Tegas! Pastikan Minyakita Tepat Sasaran dan Bebas Pelanggaran
Namun, hingga saat ini, penindakan terhadap impor pakaian bekas masih bersifat sporadis dan belum mampu sepenuhnya menekan peredarannya di pasar domestik.
Sementara itu, Kemendag juga mendorong industri garmen lokal untuk berkolaborasi dengan industri kecil dan menengah (IKM) guna menciptakan produk berkualitas yang lebih terjangkau bagi masyarakat.
Langkah ini diharapkan menjadi solusi jangka panjang dalam menghadapi persaingan dengan barang bekas impor.
Meski pemerintah menegaskan bahwa impor pakaian bekas ilegal dan berbahaya, faktanya, bisnis ini tetap tumbuh dan memiliki pasarnya sendiri.
Apakah kebijakan larangan impor sudah cukup efektif, ataukah justru diperlukan pendekatan baru yang lebih realistis untuk menangani peredaran pakaian bekas di Indonesia? Waktu yang akan menjawabnya. (SG-2)