SOKOGURU, JAKARTA – Inovasi pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) dalam mengolah limbah menjadi produk bernilai ekspor patut diapresiasi. Namun, langkah mereka menembus pasar internasional tidak selalu mulus.
Salah satunya dialami pelaku UMKM kreatif yang harus menelan kerugian hingga Rp118 juta karena pengiriman ekspor ke Eropa ditahan pihak Bea Cukai akibat persoalan administratif.
Kasus ini mencuat ke publik setelah viral di media sosial. Pemilik akun YouTube Julio Ekspor mengulas kronologi penahanan barang ekspor milik UMKM tersebut dalam sebuah video yang mendapat atensi luas. Ia menjelaskan bahwa pelaku UMKM menerima pesanan ekspor satu kontainer produk kebutuhan pet shop pada Agustus 2023, dengan nilai transaksi mencapai USD 12.973 atau sekitar Rp201 juta.
“Lumayan lah ya untuk sekelas UMKM yang mereka dapat orderan ke Eropa dengan nilai Rp200 juta. Ini pasti salah satu bentuk pencapaian yang sangat-sangat membanggakan buat si UMKM,” ujar Julio dalam videonya.
Produk yang dikirim bukan barang mentah, melainkan barang jadi berupa kayu hias, batu lava, dan cocopit—material dari limbah tempurung kelapa yang telah diolah menjadi produk dekorasi bernilai tinggi. “Bapaknya membuat limbah terbuang ini jadi dolar. Ini memang tujuan ekspor,” jelas Julio.
Proses ekspor berjalan lancar hingga tahap stuffing atau pengemasan ke dalam kontainer. Barang dikirim ke Pelabuhan Tanjung Priok pada 25 September 2023, lengkap dengan dokumen seperti packing list, invoice, phytosanitary certificate, dan surat fumigasi. Namun masalah muncul saat pengajuan Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) ditolak karena perbedaan HS Code antara dokumen dan data PEB.
“Pengajuan PEB pertama ditolak karena ada perbedaan tipe HS Code di packing list dan PEB. Padahal HS Code itu dijiplak dari pengalaman sukses ekspor produk sama oleh teman,” kata Julio.
Ia menyoroti bahwa produk batu dalam kontainer dikategorikan sebagai Lartas (Larangan Terbatas) sehingga memerlukan izin tambahan yang tidak dimiliki UMKM tersebut.
Kesalahan HS Code ini membuat barang tertahan di pelabuhan, dan menimbulkan biaya storage dan demurrage (DND) sebesar Rp118 juta. Rinciannya, biaya DND mencapai Rp92 juta, ditambah biaya penyimpanan Rp26 juta. “Bapaknya tidak tahu biaya ini dari awal, dan forwarder juga tidak menjelaskan secara rinci,” ungkap Julio.
Lebih lanjut, Julio menyayangkan lambannya proses dari pihak terkait. “Bapaknya merasa proses penanganan Bea Cukai terlalu lama, padahal estimasinya 5 sampai 15 hari kerja, tapi ini bisa lebih lama,” tuturnya.
Kisah ini menjadi pelajaran penting bagi pelaku UMKM yang ingin menembus pasar ekspor. Kesalahan administratif sekecil apapun bisa berdampak besar, bahkan menyebabkan kerugian dan kehilangan kepercayaan dari importir. Julio menekankan pentingnya edukasi dan transparansi terkait proses ekspor.
“Kalau kita bicara soal ekspor, kita itu sedang membuka lapangan kerja di daerah kita, dan kita ini sedang berkontribusi juga buat negara dan masyarakat,” ujar Julio, menyoroti dampak positif ekspor bagi masyarakat lokal.
Kasus ini menjadi sorotan karena menunjukkan betapa birokrasi masih menjadi hambatan besar bagi UMKM inovatif untuk berkembang di pasar global. Pemerintah diharapkan lebih responsif dan mendukung agar pelaku usaha kecil tidak patah arang dalam berinovasi dan membawa produk lokal menembus pasar dunia. (*)