SokoLokal

Cara Komunitas Tionghoa Merawat Harmoni di Tanah Syariat: Kisah Ketua Hakka Aceh di Tengah Keberagaman

Kisah Ketua Hakka Aceh, Kho Khie Siong atau Aky, yang hidup harmonis di tengah penerapan syariat Islam di Aceh Mengungkap toleransi dan komunikasi lintas agama.

By Rizki Laelani  | Sokoguru.Id
12 Oktober 2025
<p>Kho Khie Siong atau akrab disapa Aky (kanan), Ketua Hakka Aceh, saat berbincang santai di kawasan Peunayong, Banda Aceh. Ia dikenal sebagai tokoh Tionghoa yang aktif menjembatani komunikasi lintas agama dan memperkuat harmoni sosial di tengah penerapan syariat Islam di Aceh.</p>

Kho Khie Siong atau akrab disapa Aky (kanan), Ketua Hakka Aceh, saat berbincang santai di kawasan Peunayong, Banda Aceh. Ia dikenal sebagai tokoh Tionghoa yang aktif menjembatani komunikasi lintas agama dan memperkuat harmoni sosial di tengah penerapan syariat Islam di Aceh.

SOKOGURU, BANDA ACEH – Di sebuah pagi yang tenang di kawasan Peunayong, Banda Aceh, deretan ruko tua menjadi saksi bisu perjalanan komunitas Tionghoa di tanah yang dijuluki Serambi Mekkah. 

Di sanalah Kho Khie Siong, atau akrab disapa Aky, memulai percakapan hangat tentang bagaimana masyarakat Tionghoa hidup berdampingan dengan warga Muslim di bawah payung hukum syariat Islam Aceh.

“Sejak dulu, hubungan kami dengan masyarakat Aceh sangat baik. Kami saling menghormati, tidak hanya dalam soal agama, tapi juga dalam kehidupan sosial,” ujar Aky membuka pembicaraan saat sokoguru.id berkunjung di Banda Aceh, belum lama ini. 

Ia telah memimpin Perhimpunan Hakka Aceh selama lebih dari satu dekade dan dikenal sebagai tokoh yang aktif menjembatani komunikasi lintas iman di Banda Aceh.

Hidup di Tengah Syariat Islam

Bagi sebagian orang luar, hidup sebagai minoritas non-Muslim di daerah yang menerapkan qanun syariat Islam mungkin terasa menegangkan. 

Namun, Aky justru melihatnya sebagai bentuk kearifan lokal yang perlu dihargai.

“Syariat di Aceh bukan untuk menakuti, tapi untuk menertibkan masyarakat. Kami, warga Tionghoa, menghormati aturan itu. Kalau masyarakat Muslim beribadah, kami ikut menjaga suasana. Kalau ada hari besar Islam, kami ikut mengucapkan selamat,” katanya sambil tersenyum.

Ia mencontohkan, saat bulan Ramadan, para pengusaha Tionghoa di Banda Aceh menyesuaikan jam operasional toko agar tidak menyinggung warga Muslim yang sedang berpuasa. 

“Ini soal saling mengerti. Tidak ada paksaan, tapi ada rasa empati,” tambahnya.

Kearifan Lokal Sebagai Jembatan

Menurut Aky, kunci utama keharmonisan antara komunitas Hakka dan masyarakat Aceh terletak pada komunikasi dan rasa saling menghormati. 

Ia menyebut konsep peumulia jamee (memuliakan tamu) dalam budaya Aceh sebagai salah satu nilai yang membuat warga non-Muslim diterima dengan baik.

“Orang Aceh punya prinsip bahwa siapa pun yang datang dengan niat baik harus dihormati. Itu juga yang membuat kami merasa menjadi bagian dari Aceh,” tutur Aky.

Kearifan lokal inilah yang sejalan dengan teori komunikasi lintas budaya seperti yang dijelaskan oleh Stella Ting-Toomey dalam Face-Negotiation Theory. 

Dalam teori itu, setiap individu berusaha menjaga “muka” atau kehormatan dirinya dan kelompok lain ketika berinteraksi. 

Hal ini tercermin nyata dalam cara masyarakat Aceh dan Tionghoa saling menahan diri, menjaga sopan santun, dan menghindari konflik terbuka.

Persaudaraan di Tengah Perbedaan

Aky juga bercerita tentang kerja sama sosial yang terjalin antara umat beragama. 

Saat terjadi musibah gempa bumi di Pidie Jaya beberapa tahun lalu, komunitas Hakka turut mengirim bantuan logistik bersama dengan ormas Islam setempat.

“Bencana itu mengajarkan bahwa kita semua sama di hadapan Tuhan. Tidak penting agamanya apa, yang penting saling tolong-menolong,” ujarnya.

Di beberapa momen, komunitas Hakka bahkan membuka ruang bagi dialog antaragama yang difasilitasi oleh Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). 

“Kami ingin menunjukkan bahwa perbedaan bukan untuk diperdebatkan, tapi untuk dipahami,” tambahnya.

Tantangan dan Harapan

Meski hubungan antarumat beragama di Aceh relatif harmonis, Aky tak menampik bahwa masih ada kesalahpahaman kecil di tingkat masyarakat.

“Kadang muncul karena kurang komunikasi atau karena pengaruh media sosial yang menyebarkan isu tanpa klarifikasi,” jelasnya.

Ia berharap ke depan, media massa bisa lebih banyak menyoroti kisah positif tentang toleransi di Aceh. 

“Jangan hanya memberitakan hal-hal yang sensasional. Kami di sini hidup rukun, tapi itu jarang diberitakan,” katanya dengan nada reflektif.

Menjadi Warga Aceh Seutuhnya

Sebagai Ketua Hakka, Aky berkomitmen menjaga warisan leluhur sekaligus memperkuat rasa kebangsaan. 

“Kami bagian dari Indonesia, bagian dari Aceh. Jadi kami juga punya tanggung jawab menjaga nama baik daerah ini,” ujarnya.

Bagi Aky, harmoni bukan sekadar hasil dari toleransi pasif, tetapi dari interaksi aktif yang dilandasi penghormatan terhadap identitas masing-masing. 

Ia menutup wawancara dengan kalimat sederhana. “Kalau kita mau dihormati, ya kita harus menghormati dulu. Aceh mengajarkan itu pada kami,” katanya. (*)