SokoKreatif

Merawat Komunikasi Multikultural di Aceh: Belajar dari Harmoni yang Bekerja Tanpa Banyak Bicara

Harmoni lintas agama di Banda Aceh terbentuk etika komunikasi, empati, dan kearifan lokal. Studi ini mengulas peran komunitas Tionghoa dalam menjaga kerukunan.

By Cikal Sundana  | Sokoguru.Id
02 Desember 2025
<p>Kemegahan Masjid Baiturahman Banda Aceh dan harmoni alami. Hubungan Muslim–Tionghoa di Banda Aceh menunjukkan model komunikasi lintas iman yang harmonis. Artikel ini membahas etika, empati, dan dinamika sosial budaya Aceh.</p>

Kemegahan Masjid Baiturahman Banda Aceh dan harmoni alami. Hubungan Muslim–Tionghoa di Banda Aceh menunjukkan model komunikasi lintas iman yang harmonis. Artikel ini membahas etika, empati, dan dinamika sosial budaya Aceh.

Oleh: Rizki Laelani
Mahasiswa Pascasarjana Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI)
UIN Sunan Gunung Djati Bandung

 

ACEH sering dibayangkan sebagai wilayah yang kaku, identik dengan syariat, dan kurang ramah bagi kelompok minoritas. 

Namun, gambaran itu tidak selalu tepat. Justru, ketika kita turun langsung ke masyarakat, kita menemukan lanskap sosial yang jauh lebih cair dan penuh kearifan. 

Harmoni di Aceh ternyata tidak dibangun dari perdebatan panjang, tidak muncul dari meja-meja formal, tidak pula bersandar pada dokumen kebijakan yang bertele-tele. 

Harmoni di Aceh, terutama di Banda Aceh, tumbuh dari praktik komunikasi multikultural yang sederhana, etis, dan mengakar pada hubungan antarwarga.

Melalui pengalaman Ketua Hakka Aceh, Kho Khie Siong atau akrab disapa Aky yang aktif dalam ruang sosial—kita bisa melihat bagaimana komunikasi lintas iman dapat bekerja secara natural dalam ruang sosial yang sangat kental dengan simbol-simbol Islam. 

Pengalaman ini menjadi pelajaran penting bagi kita, bahwa keberagaman tidak harus berjalan melalui struktur kebijakan publik yang rumit, tetapi bisa tumbuh dari kesadaran kolektif untuk saling memahami.

Aceh dan “Toleransi Sehari-hari” yang Jarang Dibicarakan

Cerita Aky menggeser persepsi umum tentang Aceh. Ia datang sebagai minoritas, membawa latar budaya dan agama yang berbeda, lalu perlahan menyadari bahwa Banda Aceh bukan kota yang membentang tembok antara mayoritas dan minoritas. Justru, ia merasakan ruang sosial yang hangat.

Aky mengatakan bahwa ia tidak pernah merasa terasing. Ia tinggal dekat Masjid Raya Baiturahma Banda Aceh, dan suara azan justru ia nikmati sebagai bagian dari kehidupan sosial yang ia hormati. 

“Suara itu menenangkan,” bukan sekadar ungkapan pribadi, tetapi cerminan dari dialog kebudayaan yang terjadi tanpa perlu forum resmi.

Inilah bentuk “toleransi tersembunyi” (implicit tolerance). Tidak selalu ditampilkan dalam pidato atau deklarasi, tetapi hadir dalam gestur kecil, tidak mempermasalahkan ibadah tetangga, saling menghargai ruang budaya masing-masing, dan tidak memaksakan ekspresi keagamaan di ruang publik.

Aceh menunjukkan kepada kita bahwa harmoni bisa hadir lewat cara-cara yang tidak sensasional, tetapi bekerja efektif.

Komunikasi Multikultural Tanpa Teori Kompleks, Namun Mengandung Kearifan Lokal

Jika merujuk pada kerangka teori multikultural dan komunikasi lintas agama yang ditulis oleh Dr. Ujang Saefullah, ada beberapa dimensi yang menjelaskan kenapa relasi lintas agama di Aceh bisa berjalan dengan baik:

1. Etika komunikasi

Aky menjaga sikap, menghargai konteks sosial, dan memahami nilai-nilai Islam yang hidup di sekitarnya. Ia tidak hanya “menyesuaikan diri”, tetapi juga membangun empati.

2. Pendekatan antarpersonal

Hubungan sosial di Aceh tidak dibangun melalui institusi formal. Warganya lebih percaya pada interaksi sehari-hari—saling menyapa, partisipasi dalam acara lingkungan, dan gotong royong.

3. Konsensus budaya

Ada kesadaran diam-diam bahwa setiap warga, apa pun agamanya, adalah bagian dari masyarakat Aceh. Inilah bentuk konsensus budaya yang tidak tertulis, tetapi hidup dan dijaga.

4. Semangat kesetaraan warga negara

Dalam praktiknya, warga Tionghoa seperti Aky tidak hanya diterima sebagai “tamu” sosial, melainkan sebagai bagian setara dari masyarakat. Sikap ini memperkuat kohesi sosial.

Dari sini, kita belajar bahwa Aceh memiliki kearifan lokal yang mampu menjadi fondasi komunikasi multikultural—bahkan tanpa perlu jargon multikulturalisme yang rumit.

Media Sosial: Tantangan Baru dalam Komunikasi Lintas Agama

Aky mengakui bahwa masalah justru sering datang bukan dari masyarakat Aceh, tetapi dari media sosial. 

Narasi digital cenderung membesar-besarkan perbedaan, memelintir isu keberagaman, dan menciptakan persepsi yang bertolak belakang dengan realitas di lapangan.

Media sosial menjadikan isu sensitif sebagai komoditas viral, bukan ruang dialog. 

Di sinilah literasi komunikasi diuji. Aceh yang di lapangan toleran, bisa terlihat intoleran jika narasinya dibentuk oleh aktor-aktor digital yang tidak memahami budaya lokal.

Oleh karena itu, masyarakat Aceh (dan kita semua) perlu memperkuat kemampuan membaca informasi—agar realitas sosial yang harmonis tidak direduksi oleh interpretasi digital yang bias.

Belajar dari Aceh: Minoritas Bisa Berkontribusi Tanpa Rasa Takut

Salah satu pelajaran penting dari cerita Aky adalah bahwa minoritas tidak melulu harus berperan sebagai “kelompok yang harus dilindungi”. Mereka bisa menjadi aktor aktif yang berkontribusi bagi harmoni sosial.

Aky terlibat dalam diskusi masyarakat, menjadi bagian dari advokasi, dan tetap menjaga komunikasinya dengan cara-cara yang konstruktif. 

Ia menolak pendekatan konfrontatif, dan memilih pendekatan etik yang menghormati nilai lokal.

Model komunikasi seperti inilah yang seharusnya menjadi rujukan di daerah lain:
komunikasi lintas agama yang tidak memaksa, tidak melebih-lebihkan perbedaan, tetapi memusatkan perhatian pada nilai kemanusiaan dan kebijaksanaan lokal.

Aceh Mengajarkan Kita bahwa Harmoni Tidak Perlu Banyak Kata

Aceh memberikan contoh bahwa komunikasi multikultural yang berhasil tidak harus spektakuler. 

Tidak perlu kampanye besar-besaran atau program yang dipenuhi jargon. Justru, yang dibutuhkan adalah:

- Kesadaran untuk saling menghormati

- Kecerdasan membaca konteks budaya

- Etika antarwarga yang dibangun dari interaksi sehari-hari

- Empati yang tidak dipaksakan

- Keterbukaan untuk hidup berdampingan

Aky hanyalah satu cerita, tetapi ia mewakili banyak realitas di Aceh: bahwa multikulturalisme tidak selalu diucapkan, tetapi dirasakan; tidak selalu dipertontonkan, tetapi dilakukan.

Dan mungkin, itulah bentuk harmoni yang paling dewasa. (*)