Sepinya Pasar Tanah Abang terus menjadi perhatian banyak orang. Sebagian pihak menyebut, sepinya tanah abang karena media sosial TikTok, dan sejumlah marketplace yang ada di Indonesia.
Namun lebih dari itu, menurut Pakar Ekonomi Digital Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI) Ibrahim Kholilul Rohman, Ph.D., ada sejumlah factor yang menyebabkan pasar tanah abang sepi. Salah satunya adalah aspek demand (permintaan) dan supply (penawaran) yang bekerja Bersama-sama.
Permintaan Rendah
Ibrahim menjelaskan, dari demand, proporsi pengeluran rumah tangga terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) cenderung melemah. Konsumsi terhadap PDB pada pertengahan tahun 2023 adalah proporsi terendah dalam 20 tahun terakhir.
“Konsumen cenderung mengalami penurunan kemampuan daya beli yang bisa disebabkan oleh beberapa aspek, misalnya dampak krisis akibat Covid-19 yang belum sepenuhnya pulih sehingga perekonomian pada grass root belum benar-benar rebounding. Masyarakat juga cenderung lebih berhati-hati (precaution), hal ini ditandai dengan peningkatan tabungan khususnya pada jumlah tabungan di bawah Rp 5 Milyar,” ujar Ibrahim dalam keterangan tertulisnya di laman UI.
Produk Impor Lebih Murah
Dari sisi supply lanjut Ibrahim, penyebabnya adalah masuknya barang-barang impor dari luar negeri terutama dari China. Produk impor tersebut jauh lebih murah dan diperjualbelikan melalui platform digital.
Hal tersebut juga mengakibatkan barang-barang yang dijual secara langsung seperti di pasar atau offline menjadi kurang bersaing dari sisi harga. Apalagi secara umum masyarakat Indonesia memiliki pola price elastic atau sedikit perubahan pada harga akan mengakitbatkan perubahan yang lebih besar pada kuantitas barang yang diminta.
Flatform Online Lebih Menarik
Ibrahim juga menyeut, flatform penjualan online menjadi lebih menarik bagi konsumen. Selain harga lebih murah dan mudah didapat, ekosistem keuangan yang memudahkan konsumen dalam bertransaksi. Sejumlah ekosistem pendukung pada flatform online diantaranya digital wallet, digital banking, fintech, peer-to-peer (P2P) lending, bahkan paylater yang memungkinkan orang membeli barang meskipun dalam kondisi tidak memiliki budget.
Selain itu kata Ibrahim, pada flatform digital, umumnya memiliki network effect yang sangat besar. Sehingga Didukung dengan pengguna yang banyak, personalized product bisa dilakukan sehingga konsumen mendapatkan apa yang diminta dengan harga yang sesuai dengan kemampuan.
“Pada ilmu ekonomi, hal ini disebut dengan 1st degree price discrimination di mana setiap pembeli dengan daya beli yang berbeda-beda dapat di-personalized kebutuhannya,” kata Ibrahim.
Saran Untuk Pedagang
Ibrahim menyarankan dengan gempuran produk dari luar negeri, khususnya dari China, ada baiknya para pedagang melakukan eksplorasi untuk shifting barang penjualan ke non-mass production. Sehingga barang tersebut mudah disubstitusi dengan barang impor dari luar negeri dengan harga yang jauh lebih murah. Selain itu, mereka juga harus mempelajari manfaat digitalisasi terutama bagi penjualan mereka.
Mitigasi Pemerintah
Dalam menghadapi masalah ini, Ibrahim mengatakan bahwa mitigasinya harus didukung kebijakan pemerintah yang sifatnya regulatory impact assessment, seperti anticompetitive conduct yang dilakukan platform kepada produk-produk lokal. Selain itu, platform secara unilateral juga bisa melakukan vertical integration dengan preferred logistics pengantaran dan payment-praktik yang sebenarnya juga dilarang oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
Selain itu, flatform juga harus melakukan net-neutrality dimana setiap produk diberikan akses yang sama untuk di-up. Salah satu yang menjadi win-win solution untuk produk yang sama dibagi menjadi dua kelompok yang terpisah, yaitu local products dan imported products sehingga pembeli mendapatkan pilihan.
“Tanpa ada upaya yang sistematis dari pemerintah, digital platform alih-alih menjadi lokomotif pemberdayaan dan kemajuan lokal konten, justru akan secara pelan-pelan membunuh produk-produk kita,” kata Ibrahim yang juga merupakan salah seorang dosen di Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) UI dan Senior Economist di Indonesia Financial Group (IFG).
Selain Pasar Tanah abang, sejumlah sentra pedagangan retail juga mengalami hal yang sama. Seperti seperti Glodok, Cipulir, Thamrin City, Ratu Plaza dan sebagainya.[]