Soko Inspirasi

Menggali Tapal Sejarah Cianjur Lewat Kopi

Kilometer95 Coffee, Kedai kopi asal ini bukan saja menyeduh kopi berkualitas tinggi, tapi di sini sejarah digali, dan cerita dibuk

By Sokoguru  | Rafqi Sadikin  | Sokoguru.Id
27 Juni 2022

Zaman sekarang, konsep jadul, vintage, ataupun estetik sudah sering kita temukan di tempat kopi. Kita pun sudah tak aneh, apabila di tempat-tempat kopi tersebut berjejer berbagai judul buku yang keren.

Namun, apa jadinya bila keantikan benar-benar hadir di kedai kopi? Inilah dia penggagasnya, pemuda kreatif asal Cianjur: Bayu Ramadhan.

Nama kedainya Kilometer95 Coffee. Ada alasan kuat di balik penamaan kedai kopi ini. Kilometer 95 sudah lama menjadi stasiun penghubung kereta api di Jawa Barat sejak zaman kolonial. Stasiun ini menghubungkan Sukabumi-Cianjur, bahkan sampai Bandung.

Sejarah Gudang Kopi dan Teh

Stasiun ini tidak lagi beroperasi melayani perjalanan jarak jauh, hanya perjalanan lokal saja yang tersisa sekarang. Di kompleks stasiun bersejarah itulah kedai ini berdiri. Mulanya, tempat ini hanyalah gudang tempat berbagai perangkat perkeretaapian diinapkan. 

Namun, setelah tempat ini disulap menjadi kafe, salah seorang pengurus stasiun menuturkan bahwa memang dahulunya, gudang ini difungsikan sebagai gudang teh dan kopi Jawa Barat. Bayu sebenarnya tidak menyangka kalau kafenya ini memang punya sejarah dengan teh dan kopi, tapi kalau sudah begini, kiranya memang takdir menemukan Kilometer95 dengan berbagai tapal sejarah yang ada di Cianjur.

Mendapatkan tempat yang mujur tidak lantas membuat Bayu jumawa dan menggenjot semua promosi dari sana. Tidak, tidak seperti itu. Dia adalah seorang eksplorer, baik secara kebudayaan atau sejarah, inilah yang tampak dari dirinya, kemudian menjadi ciri khas dari kafenya.

Aktivasi Ruang Budaya dan Cianjuran

Kilometer95 bukan hanya menjadi tempat seruput dua seruput dan haha hihi pemuda semata. Kafe ini benar-benar diaktivasi menjadi ruang budaya Cianjur yang sedang menggeliat. Cianjur memang memiliki sejarah panjang dalam hal kesenian, mulai dari tari, seni rupa sampai sastra. 

Semua jenis seni tercipta di kota ini, pun dengan berbagai kerajinan, makanan dan lain-lain. Sehingga diksi kekhasan itu mungkin selinting pernah kita dengarkan. “Cianjuran,” namanya.

Geliat literasi anak-anak muda ini diaktivasi oleh Bayu dengan rutin mengadakan diskusi bulanan. Mungkin kawan-kawan pembaca sering melihat aktivitas ini di kafe, tetapi untuk Kawasan Cianjur, hal ini tentu menjadi gagasan yang menggairahkan khazanah budaya di sana. Seiring juga dengan misi membangkitkan semangat anak muda lokal untuk terus meramaikan kekhasan daerah mereka.

Jalur Kereta Api Tua & Gagasan Kopi-Wisata

Tempat kopi biasanya statis. Bergerak atau tidaknya ruang tersebut didukung beberapa faktor, salah dua diantaranya adalah dari komunitas pembelinya, ataupun dari pemasarannya. Kalau tak pasang promo besar-besaran, maka dilangsungkanlah acara di sana. 

Bayu Ramadhan memang melakukannya, tetapi dia melakukan lebih dari itu. Bayu membuka tapal sejarah yang sejak lama disimpan di Cianjur. 

Suatu hari, saat kopinya sedang surut pengunjung, Bayu melihat ke luar kedainya. Dia melihat sebuah jalur kereta api lokal yang sepi, tujuannya adalah Lampegan (sebetulnya disebut ini karena di stasiunnya ada lampu, jadi orang Belanda menyebutnya Lamp Again, orang Indonesia saat itu salah tangkap dan menyebutnya Lampegan sampai hari ini.)

Dari stasiun Lampegan, jalan menuju situs Gunung Padang hanya berjarak 1,5 kilometer via ojek saja. Di sana dia menemukan sesuatu yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya, bagaimana kalau jalur ini dibuat jadi jalur wisata?

Pilot Project Kereta Wisata dan Pertemuan dengan Atalia Ridwan Kamil

Ide brilian itu tak lama-lama disimpannya, seminggu setelah perjalanan kontemplatif itu, Bayu mengumpulkan ibu-ibu yang hendak bertamasya lewat jalur tua di Cianjur-Sukabumi itu. Sekitar 25 peserta ikut di tur tersebut.

Rutenya:

Kopi Kilometer95 (Stasiun Cianjur)-Stasiun Lampegan-Situs Gunung Padang-Curug Cikondang.

Bayu yang menginisiasi perjalanan itu menjadi sekalian menjadi guide. Dalam perjalanan ke Gunung Padang, ia menyewa bus pariwisata. Tak selesai di situ, ibu-ibu beristirahat di Curug Cikondang, sambil ngeliwet

Paket perjalanan ini sungguh komplit, ibu-ibu tinggal membayar 150 ribu, dan semua tercover, sungguh mantap.

Ada cerita unik di balik perjalanan pilot project ini. Sesampainya rombongan di Stasiun Lampegan, ketika akan naik bus menuju Gunung Padang, Atalia Ridwan Kamil, istri dari Gubernur Jawa Barat pun ada di sana, beliau heran “kenapa ibu-ibu ramai-ramai ke sini?” tanyanya. Tak salah bila beliau heran, karena jalur ini memang belum lazim dijadikan tempat wisata.

Dari sanalah Bayu Ramadhan mengembangkan idenya itu sampai menjadi salah satu biduk usahanya. Bayu punya satu pegangan dalam berbisnis. Bisnis bukan hanya urusan uang dan meraup untung sepenuhnya, tapi bisnis yang mantap adalah yang memuliakan sejarah dan membuat orang yang ada di dalamnya merasa bangga akan negeri asalnya. []