Mohamad Fajar Ramadan
KOPERASI di Indonesia perlu ditransformasi, sebab itu di tahun mendatang ada dua agenda utama yang akan dilakukan Kementerian Koperasi dan UKM (KemenKopUKM) , yakni Penataan Usaha Simpan Pinjam dan Peningkatan Produktivitas Koperasi Sektor Riil
Hal itu disampaikan Deputi Bidang Perkoperasian (KemenKopUKM) Ahmad Zabadi, saat dihubungi Sokoguru.id, beberapa waktu lalu.
Menurutnya, jumlah koperasi yang aktif di Indonesia pada 2022 ada 130.354 unit dengan volume usaha mencapai Rp197 triliun hingga Desember 2022. Volume usaha itu disumbang 66% oleh usaha simpan pinjam.
“Dua agenda utama itu dipilih berdasarkan benchmark (patokan) secara internasional, kontribusi terbesar justru dari sektor riil, mencapai 54%, disusul asuransi 41% dan simpan pinjam hanya 5% (Sensus Koperasi Global, PBB, 2014),” katanya.
Penataan Usaha Simpan Pinjam, jelasnya, merupakan implikasi dari UU No. 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK) dan respon terhadap kondisi usaha simpan-pinjam beberapa tahun terakhir.
Upaya penataan tersebut dalam jangka pendek diwujudkan melalui PermenkopUKM No. 8 Tahun 2023 tentang Usaha Simpan Pinjam, yang menggariskan beberapa ketentuan terkait dengan persyaratan, perizinan, standar-standar tata kelola serta pengawasan oleh Pemerintah.
“Secara jangka panjang dilakukan melalui UU Perkoperasian yang diharapkan tahun depan akan disahkan. Dalam RUU Perkoperasian tersebut ada dua lembaga pendukung usaha simpan-pinjam yang akan dibentuk, yakni Lembaga Pengawasan Simpan-Pinjam Koperasi, Lembaga Penjamin Simpanan Anggota Koperasi. Kedua lembaga tersebut saling terkait, di mana lembaga pengawasan akan efektif, bila ada lembaga penjamin simpanan,” tambah Zabadi.
Modernisasi koperasi
Sedangkan dalam Peningkatan Produktivitas Koperasi Sektor Riil, sambungnya, sudah mulai dikembangkan melalui program modernisasi koperasi di mana program itu banyak menyasar koperasi sektor pangan.
“Pendekatan yang dilakukan adalah melalui korporatisasi atau hilirisasi. Beberapa contoh korporatisasi yang sukses dikembangkan seperti komoditi holtikultura oleh koperasi pondok pesantren (Kopontren) Al Ittifaq Ciwidei Bandung,” ujar Zabadi.
Kemudian pendekatan hilirisasi pada Koperasi Pujakusuma yang membangun pabrik Minyak Makan Merah. Baik korporatisasi atau hilirisasi berfokus pada upaya peningkatan nilai tambah, sehingga koperasi tak hanya menyelenggarakan pada sisi hulu, tetapi juga pada sisi tengah atau bahkan hilir. Dengan nilai tambah yang tinggi, maka koperasi dapat memberikan manfaat lebih besar bagi anggotanya.
“Untuk mewujudkan hal tersebut, dalam RUU Perkoperasian, koperasi sektor riil telah kami beri affirmative action. Kami atur bahwa Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah wajib memberikan insentif fiskal dan/ atau non fiskal serta berbagai fasilitasi atau dukungan lain yang relevan untuk mengembangan koperasi sektor riil,” jelasnya lagi.
Dengan afirmasi tersebut, sambung Zabadi, pemerintah berharap volume usaha koperasi sektor riil dapat meningkat di tahun-tahun mendatang.
“Revisi UU Perkoperasian merupakan enabler transformasi koperasi di Indonesia. Dalam RUU tersebut berbagai perubahan, kebaruan serta pembaharuan kami lakukan untuk meningkatkan keunggulan kompetitif koperasi di tengah dunia yang berubah ini. Beberapa perubahan seperti dalam keanggotaan, tata kelola, permodalan serta usaha, yang akan membuat koperasi lebih adaptif, tangkas dan berdaya ungkit,” tambahnya .
Sehingga, sambung Zabadi, dipastikan wajah koperasi Indonesia akan berubah 5-10 tahun mendatang. Untuk mewujudkan itu , pada 2024 pembahasan RUU Perkoperasian merupakan agenda strategis Kemenkop UKM khususnya dalam bidang koperasi. (SG-1)