KALAU dihitung sejak Kongres pertama Persatuan Wartawan Indonesia (PMI) di Solo pada 9 Februari 1946, Peringatan Hari Pers Nasional (HPN) tahun ini adalah yang ke-79.
Selama 79 tahun perjalanannya, Pers Nasional tumbuh dalam beberapa era, yakni di masa Kolonial, Kebangkitan Nasional, Orde Lama, Masa Demokrasi Liberal, kemudian di era Orde Baru, dan di masa Reformasi.
Pers Indonesia memiliki pergumulan sendiri di setiap zamannya mulai dari semangat nasionalisme, kebebasan pers yang diatur hingga era reformasi. Dalam UU RI No. 11/1966 di zaman Presiden Soeharto, yakni kebebasan pers bukanlah kebebasan dalam arti liberal, melainkan kebebasan untuk menyampaikan kebenaran dan keadilan.
Namun pada praktiknya, seiring berjalannya waktu, kebebasan pers semakin terkikis dan tidak sesuai dengan UU yang ada.
Barulah di era reformasi 1998, di bawah pemerintahan Presiden BJ Habibie terjadi perubahan signifikan terkait kebebasan pers di Indonesia.
Selain pembubaran Departemen Penerangan, perlindungan dan jaminan dalam hal berkomunikasi, memperoleh dan menyampaikan informasi melalui media massa diatur dalam TAP MPR RI No. XXVII tahun 1998 tentang Hak Asasi Manusia.
Selain itu, praktik penyensoran terhadap pers telah dihapus, dan pemerintah memberikan kebebasan penuh bagi media massa untuk melakukan berbagai jenis pemberitaan.
Saat ini, di era digital, Pers Indonesia pun harus berjuang menghadapi ancaman disrupsi digital. Seperti diketahui, era digital turut menghantam industri media massa. Isu senja kala, berkuasanya media sosial, hadirnya teknologi kecerdasan buatan (AI) dinilai sebagai ancaman bagi keberlanjutan bisnis media massa.
Di era digital, hampir tidak terlihat lagi kesibukan dead line redaksi di media cetak dengan mesin cetaknya untuk terbit esok pagi. Kini, media cetak arus utama pun berlomba dengan kecepatan algoritma dan keterlibatan audiens di media sosial.
Pergeseran itu bukan hanya terjadi di Indonesia. Media-media di seluruh dunia pun bergulat dengan disrupsi digital. Media tidak lagi bisa mengandalkan iklan atau langganan, tetapi harus mengeksplorasi peluang dari event, kemitraan konten, hingga layanan konsultasi berbasis data.
Pers juga mau tidak mau harus melek digital serta memanfaatkan perkembangan teknologi yang ada.Pasalnya, digitalisasi yang semula menjadi ancaman bisa menjadi peluang bila dikelola dengan kreativitas. Penggunaan kecerdasan buatan (AI), misalnya, bisa dipakai demi efisiensi, tetapi juga membantu membuat karya jurnalisme berkualitas terutama dalam membantu menganalisis data.
Asalkan tetap diingat, teknologi tetaplah alat untuk menopang karya jurnalistik yang konten dan prosesnya tetap pada pedoman dan filosofi sejatinya yakni menyampaikan kebenaran, tidak berbohong, berintegritas, serta akurat.
Pedoman itu harus tertanam dalam setiap pemegang profesi sebagai jurnalis. Namun, di tengah Pers Nasional sedang berjuang untuk keberlanjutannya, tantangan datang dari masyarakat pers sendiri.
Secara organisasi, misalnya, ada kubu. Keduanya secara bersamaan merayakan Hari Pers Nasional (HPN). Ada yang dipusatkan di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, dan yang satunya di Pekanbaru, Riau.
Keduanya juga mengusung tema yang berbeda. Kubu yang satu mengusung tema ketahanan pangan dan yang satunya tentang generasi Indonesia Emas. Keduanya sama-sama mengusung tema yang menjadi program besar Pemerintah.
Terlepas dari segala persoalan yang dihadapi Pers Indonesia saat ini, baik secara internal maupun eksternal, banyak pihak dan tokoh-tokoh mengajak pers kembali ke fungsi dan perannya.
Keberlanjutan
Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), melalui Wakil menteri Komdigi, Nezar Patria, mengatakan Pemerintah, berupaya mendukung terciptanya ekosistem industri media yang sehat dan berkelanjutan, dengan fokus pada keberlanjutan media sebagai salah satu prioritas.
Bahkan ia mengajak pers berkolaborasi dengan pemerintah dan masyarakat. Terutama dalam memerangi misinformasi, disinformasi, dan malinformasi, serta maraknya konten negatif seperti judi online dan penipuan digital.
Kolaborasi antara pemerintah, media, dan masyarakat dinilai penting untuk mencegah penyebaran konten negatif tersebut.
Muhammadiyah, melalui Ketua Umum Pimpinan Pusat, Haedar Nashir, berharap di tengah masifnya perkembangan dunia digital, seluruh pihak diharapkan tetap menjaga keberlangsungan media cetak dan media konvensional. Pasalnya, menurut Haedar, relasi sosial yang bersifat verbal dan langsung juga masih diperlukan dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Sementara itu, tokoh pers sekaligus wartawan senior Dahlan Iskan yang hadir di Banjarmasin menyampaikan pandangannya tentang perubahan media massa saat ini.
Mantan Menteri BUMN di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu bahkan mengajak insan pers untuk menjadikan HPN 2025 Banjarmasin menjadi momentum untuk diskusi bagaimana mendapatkan uang dari platform.
Dewan Pers sewaktu meluncurkan Angka indeks kemerdekaan pers (IKP) Nasional yang terus mengalami penurunan, pada November 2024 lalu, juga mengingatkan pemerintah punya peran besar dalam mengalokasikan belanja iklan di media.
Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu mengutarakan pendapatan iklan di media massa mengalami penurunan. Hal itu salah satunya karena Pemerintah baik pusat maupun daerah banyak beralih ke media sosial. Iapun meminta agar belanja iklan pemerintah lebih dialokasikan ke perusahaan pers nasional. Ini supaya pers bisa bertahan dan bekerja lebih profesional.
Namun, Ninik tetap mengingatkan agar pemerintah maupun institusi lain tidak belanja iklan untuk kepentingan atau membeli pemberitaan. Hal itu dimaksudkan untuk keberlangsungan media. Meski tetap perlu dipastikan bahwa belanja iklan tanpa campur tangan pada ruang pemberitaan.
Jujur dan dapat dipercaya
Di HPN 2025 ini kiranya menjadi momentum buat Pers tetap berpegang pada perannya berdasarkan UU Pers yakni memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Dalam tugasnya melayani publik dengan informasi yang jujur dan dapat dipercaya.
Informasi yang disajikan harus objektif, berimbang, dan demokratis. Tidak mencampuradukkan fakta dan opini, apalagi pemberitaan yang tendensius.
Pers Indonesia juga tetap konstruktif dan kritis dalam menyikapi kebijakan-kebijakan negara, pers nasional ikut menciptakan budaya demokrasi yang moderat serta berbasis pada nilai-nilai luhur Pancasila, agama, dan kebudayaan bangsa.
Seperti yang dikatakan Ketua Umum PWI Pusat Hendry Ch Bangun di Banjarmasin, bahwa pers harus mendukung program pemerintah terkait ketahanan pangan, tetapi pers juga harus mengkritisi dan mengawal berjalannya program tersebut.
Namun, HPN 2025 juga diharapkan bukan sekadar perayaan seremonial, melainkan memberi atau menawarkan solusi-solusi bagaimana pers sebagai industri bisa membuat mesin-mesin ekonomi agar tetap berlanjut. Selamat Hari Pers Nasional! (SG-1)