Editorial

Hari Ibu, Momen Perempuan Pejuang untuk Kesetaraan Gender

Tahukah kamu kalau Hari Ibu bukan sekadar hari kasih sayang dan hari spesial untuk ibu se-Indonesia, tetapi Hari Ibu punya nilai kesetaraan gender.

By Sokoguru  | Sokoguru.Id
22 Desember 2023

TEPAT hari ini, 95 tahun yang lalu, pada 22 Desember 1928, ribuan orang yang merupakan wakil 30 organisasi perempuan dari seluruh Jawa dan Sumatera serta beberapa organisasi kaum laki-laki berkumpul di pendopo Ndalem Joyodipuran, yang kini dikenal sebagai kantor Balai Pelestarian Nilai Budaya, di jalan Brigjen Katamso 139 Yogyakarta, untuk menghelat Kongres Perempuan Indonesia untuk pertama kalinya. 


Sekitar pukul 19.00 WIB malam, Lagu Kinanti Sekar Gending Srikastawa: Ladrang Pelog Barang karangan Soekaptinah dilantunkan anak-anak, menjamu para tamu dari organisasi yang hadir. Suasana khidmat kian terasa saat berlangsung drama tanpa suara yang mengisahkan Dewi Sinta membakar diri, Srikandi, dan Perikatan Istri Indonesia. Penampilan seni berakhir dengan decak kagum dan tepuk tangan.


Dari pukul 21.00 hingga 23.00, gagasan-gagasan terkait nasib perempuan di masa depan pun mulai dibahas. Diawali perkenalan, tiap utusan organisasi mulai menguraikan masalah perkumpulannya. Begitu yang dicatat Susan Blackburn dalam Kongres Perempuan Pertama: Tinjauan Ulang (2007). 


Tokoh-Tokoh Di Balik Perjuangan Hari Ibu



Kongres Perempuan Indonesia I ini diprakarsai oleh Ny. Sukonto (dari Wanita Utomo), Nyi Hadjar Dewantara (dari Wanita Tamansiswa) dan Nn. Sujatin (dari Putri Indonesia) dan didukung oleh tujuh organisasi wanita antara lain Wanita Utomo, Wanita Tamansiswa, Putri Indonesia, Wanita Katolik, Jong Java bagian gadis-gadis (Meisjeskring), Aisyiah dan JIBDA (Jong Islamietend Bond Dames Afdeling).


Wakil-wakil dari perkumpulannya Boedi Oetomo, PNI, Pemuda Indonesia, PSI, Walfadjri, Jong Java, Jong Madoera, Muhammadiyah, dan Jong Islamieten Bond. Tokoh-tokoh populer yang datang antara lain Mr. Singgih dan Dr. Soepomo dari Boedi Oetomo, Mr. Soejoedi (PNI), Soekiman Wirjosandjojo (Sarekat Islam), dan A.D. Haani (Walfadjri) turut hadir dalam kongres ini.


Keesokan harinya, sekitar pukul tujuh, setelah acara dibuka dengan nyanyian anak-anak, Ny. Sukonto selaku wakil dari Wanita Utomo dan ketua dari kongres ini menyampaikan pidato pembukanya. 


Ny. Sukonto menerangkan tentang latar belakang dan maksud serta tujuan kongres itu. Mula-mula ada berbagai usulan kepada Wanita Utomo untuk bekerja sama, namun untuk sementara ajakan itu kurang mendapat tanggapan. Kemudian datang suatu permintaan agar perkumpulan wanita di Indonesia mengirimkan utusannya ke Honolulu yaitu pada Passific Congres.


“Akhirnya dari itu kami bertiga yaitu Nyi Hadjar Dewantoro, Soejatin dan saya sendiri memikirkan jikalau begitu kita punya kaum perempuan Indonesia ini berasa masih kurang kepinteran dan kurang kemajuan hal apa-apa saja,”  jelasnya dalam kongres itu.


Lebih lanjut, dalam pidatonya itu Ny. Sukonto menampik tegas-tegas sikap kaum penggoda (kaum kolot) yang masih merendahkan perempuan. Baginya, momen ini menjadi waktu yang tepat untuk mengangkat derajat kaum perempuan agar tidak terpaksa duduk di dapur saja. 


Perwakilan Poetri Boedi Sedjati (PBS) dari Surabaya menyampaikan pidatonya tentang derajat dan harga diri perempuan Jawa. Lalu disusul Siti Moendji'ah dengan “Derajat Perempuan”. Nyi Hajar puan. Ada juga pembicara yang menyampaikan topik soal perkawinan dan perceraian.


Salah satu pidato yang paling menarik perhatian adalah pidato berjudul Iboe yang dibacakan oleh Djami dari Darmo Laksmi.


Djami menceritakan pengalaman masa kecilnya yang merasa dianggap rendah karena dia seorang anak perempuan. Pada masa kolonial, pendidikan lebih diutamakan bagi anak laki-laki, sementara pandangan tradisional memandang perempuan hanya cocok di kasur, sumur, dan dapur.


Namun, Djami memiliki pandangan yang maju untuk zamannya. Dia menekankan pentingnya pendidikan perempuan sebagai ibu. Menurutnya, kecerdasan dan pengetahuan seorang anak tidak bisa dilepaskan dari kecerdasan dan pengetahuan ibu atau perempuannya.


“Pendidikan perempuan adalah modal besar untuk membentuk generasi yang cerdas dan berbudaya,” kata Djami.


Djami juga memuji pembangunan sekolah-sekolah oleh tokoh-tokoh seperti Rohana Koedoes, Kartini, dan Dewi Sartika. Dia menganggap pembangunan sekolah-sekolah ini sangat penting untuk memajukan pendidikan perempuan.


Selain Djami, Siti Soendari juga memberikan pidato yang menarik perhatian di Kongres Perempuan Indonesia. Siti Soendari, yang kemudian menjadi istri Muhammad Yamin, menggunakan bahasa Indonesia dalam pidatonya, padahal bahasa Indonesia baru saja disepakati sebagai bahasa persatuan dua bulan sebelumnya.


Dalam pidatonya, Siti Soendari menekankan pentingnya persatuan bagi gerakan perempuan. Dia menyatakan bahwa gerakan perempuan adalah bagian dari gerakan nasional, dan persatuan sangat ditekankan.


“Kita harus bersatu untuk memperjuangkan hak-hak perempuan,” kata Siti Soendari.


Kongres Perempuan Indonesia pertama itu menghasilkan berbagai keputusan penting, salah satunya adalah pembentukan Perserikatan Perempuan Indonesia. Perserikatan ini kemudian berganti nama menjadi Perserikatan Perhimpunan Istri Indonesia.


Kongres ini juga menghasilkan keputusan untuk menghindari pembicaraan mengenai masalah agama demi mencegah perpecahan. Kongres ini melibatkan berbagai etnis dan agama di Indonesia, dan tokoh agama tidak dapat menjadi ketua.


Kongres Perempuan Indonesia pertama ini dianggap penting dalam sejarah pergerakan perempuan di Indonesia. Sukarno, presiden pertama Indonesia, mengenang semangat perempuan dan ibu-ibu dalam pergerakan nasional demi perbaikan kehidupan perempuan pada era kolonial.



Peresmian Hari Ibu 





Pencetusan hari ibu, pada mulanya berawal dari gagasan Siti Soekaptinah Soenarjo Mangoenpoespito seorang perempuan yang dikenal kritis. Salah satu gagasannya adalah mengusulkan adanya Hari Ibu. Usul itu diajukan atas nama Isteri Indonesia, pada Kongres Perempuan Indonesia III yang berlangsung pada 23 hingga 27 Juli 1938 di Bandung. Usul tentang Hari Ibu itu dapat diterima secara aklamasi dan peringatan Hari Ibu pertama kali diadakan pada 22 Desember 1938.


Meskipun demikian, secara resmi pada 22 Desember 1959 dalam peringatan kongres ke-25, melalui dekrit Presiden RI No.316 Tahun 1959, Presiden Soekarno menetapkan setiap tanggal 22 Desember diperingati sebagai Hari Ibu.


Peringatan hari ibu saat ini kadang bergeser dalam perayaannya. Seyogianya peringatan hari ini tak hanya ajang untuk menunjukan kasih sayang serta tanda terima kasih kepada ibu. Lebih dari itu, hari ini adalah pengingat di mana perempuan masih saja terkungkung dalam budaya patriarki yang mengakar. Ini hari yang tepat bagi perempuan untuk terus bersuara dan bergerak untuk setara dan mengusahakan lingkungan yang bebas gender. 


Jadi peringatan Hari Ibu di Indonesia yang kita rayakan hari ini bukan hanya perayaan terhadap peran Ibu sebagaimana hari ibu internasional (Mother’s Day). 


Hari Ibu Indonesia merupakan peringatan penghormatan terhadap peran dan kontribusi kaum perempuan Indonesia. Perayaan Hari Ibu di Indonesia menjadi momen pengingat perjuangan kaum perempuan. Sekaligus mendorong segenap komponen bangsa untuk mendukung pemberdayaan perempuan, yang krusial baik bagi perempuan itu sendiri, keluarga, masyarakat, hingga bangsa dan negara. (Dari berbagai sumber/ SG-2)