SELAIN dijuluki ‘Kota Kembang”, Kota Bandung pun mendapat sebutan sebagai “Parijs Van Java” atau “Paris of Java”.
Namun sebagian orang sering menyebutnya dengan ucapan “Paris Van Java” kendati secara bahasa kurang tepat.
Sejak kapan sebenarnya julukan ‘Varijs Van Java’ dilekatkan pada Kota Bandung?
Jika menengok sejarah, sebutan tersebut muncul saat digelarnya ‘Congres Internationaux d’architecture Moderne (CIAM)’ digelar pada Juni 1928 di Bandung.
Pada tahun bersamaan lahirnya gerakan Sumpah Pemuda, Bandung memang sedang gencar membangun dan menata kotanya.
Saat itu, pemerintahan kolonial di Bandung ingin menciptakan permukiman yang serasi, tertata, dan lestari.
Kala itu, selain ditetapkan sebagai Ibu Kota Kabupaten Bandung, Bandung juga menjadi ibu Kota Karesidenan Priangan.
Menurut para ahli sejarah, dalam membangun Kota Bandung saat itu, para arsitek Belanda kurang memperhatikan nuansa dan nilai-nilai budaya Hindische atau kedaerahan.
Pada Juni 1928, saat digelar Congres Internationaux d’architecture Moderne diadakan di Bandung, Hendrik Petrus Berlage yang dikenal sebagai tokoh arsitektur modern dari Belanda menjuluki Bandung dengan “Bandoeng Parijs van Java”.
Pada awalnya julukan “Bandoeng Parijs van Java” menurut data sejarah ditujukan untuk menyindir.
Namun julukan tersebut akhirnya membawa kemasyhuran bagi Bandung yang saat itu merupakan prototipe dari Kolonialle Stad atau Negara Kolonial.
Julukan Parijs van Java pun semakin populer setelah Karel Albert Rudolf Bosscha seorang konglomerat perkebunan di Hindia Belanda sering mengutip istilah Parisj van Java dalam beberapa pidatonya di depan masyarakat Bandung.
Di sisi lain, dengan adanya perkembangan pesat di dunia mode yang berpusat di Paris, ini rupanya berpengaruh besar terhadap penduduk menengah ke atas di Bandung.
Orang-orang berbondong-bondong mulai mengadopsi tren yang berkaitan dengan Paris. Salah satunya adalah seni arsitektur art deco, yang diterapkan pada hampir seluruh bangunan di Bandung.
Contoh bangunan yang paling terkenal hingga saat ini adalah Gedung Hotel Preanger dan Savoy Homann.
Tidak hanya terpengaruh seni arsitektur, Paris juga memberi pengaruhi gaya fashion di kalangan orang Bandung yang terobsesi dengan Paris.
Dampaknya, didirikan toko ‘Aug.Hegel Teens Kleding Magazijn’ di Jalan Braga, Kota Bandung pada tahun 1900-an. Toko ini menjadi tujuan dan sentra bagi orang-orang Bandung yang ingin tampil trendi pada saat itu.
Baru-baru ini, Sekretaris Daerah Kota Bandung, Ema Sumarna sebagai Ketua Satuan Tugas Khusus (satgasus) Pedagang Kaki Lima (PKL) Kota Bandung memimpin pertemuan strategis dengan para PKL yang beroperasi di Pasar Tumpah Cikutra dan Cicadas, Rabu (6/3).
Pertemuan dan dialog sekaligus mencari jalan keluar soal banyaknya keluhan masyarakat terkait pasar tumpah dan PKL di sekitar Kota Bandung.
Pertemuan ini diadakan dalam upaya untuk membahas penertiban PKL dan penegakan Perda Kota Bandung No 9 tahun 2019 tentang ketertiban umum, ketenteraman dan perlindungan masyarakat, demi menciptakan kota Bandung yang lebih tertib dan bersih.
Dalam pertemuan, Ema Sumarna menyampaikan pentingnya kerja sama antara pemerintah dan para pedagang dalam menjaga kebersihan dan ketertiban kota.
Menurut Ema, penertiban PKL dan penegakan aturan merupakan langkah penting untuk memulihkan citra Kota Bandung sebagai "Parijs van Java", yang dikenal dengan keindahan kotanya serta kesejukan dan kebersihannya.
Ema juga mengutarakan komitmennya untuk menegakan Perda Kota Bandung Nomer 4 Tahun 2011 yang mengatur tentang lokasi dan tempat usaha bagi PKL yang dibagi menjadi tiga zona. Yaitu zona merah, zona kuning, dan zona hijau.
Lokasi yang dikategorikan sebagai zona merah merupakan lokasi larangan bagi PKL dan sama sekali tidak diizinkan untuk berdagang.
Zona kuning merupakan lokasi yang diterapkan jam khusus dan zona hijau yang memang di perbolehkan untuk aktivitas PKL.
Pada perda no.4 tahun 2011 itu sudah diatur. Nomenklaturnya sudah sangat humanis.
Ada zona kuning, bukan pelarangan, tapi penataan dan penertiban. Tapi di zona merah itu zona terlarang sehingga tidak ada ruang kompromi dan negosiasi.
Para pedagang kaki lima juga diberikan kesempatan untuk menyampaikan masukan dan pendapat mereka dalam proses penertiban ini.
Ema juga mendengar dan menerima setiap aspirasi dan masukan yang disampaikan oleh para pedagang.
Pertemuan Pemkot Bandung dan para PKL diharapkan menjadi langkah awal yang signifikan dalam menjaga ketertiban dan kebersihan kota serta memperkuat citra Kota Bandung sebagai destinasi wisata unggulan di Indonesia.
Namun bicara soal julukan “Bandoeng Parijs Van Java” tampaknya penertiban dan penertiban merupakan langkah awal menuju langkah besar mengembalikan sebagai Paris of Java atau Parijs van Java.
Bandung yang tertata, bersih, indah, dan dipenuhi taman dan tanaman bunga-bungaan perlu diwujudkan dan diberi dukungan.
Bandung harus menjadi kota yang nyaman dan membuat betah penduduknya serta para wisatawan baik domestik dan mancanegara yang mengunjungi dan berlibur.
Tentunya agar julukan “Parijs van Java’ tak sekedar nama yang melekat tapi fakta sebenarnya jauh dari kondisi dan situasi Kota Paris yang berada di Prancis.
Tentunya Bandung yang pernah tuan rumah Konferensi Asia-Afrika pada April 1955 yang bersejarah perlu terus didorong melalui Pemkot Bandung dan stakeholder untuk mewujudkan bahwa Bandung adalah Kota Paris-nya Pulau Jawa. (SG-2)