Mendung tampak menggantung di langit, tapi itu tak menyurutkan semangat Alan Sahroni, 32 tahun, bersama pekerjanya dalam mengolah tumpukan daun nanas menjadi serat alami. Empat mesin dekortikator miliknya bekerja setiap hari di tempat kerja seluas 8 x 10 meter persegi itu.
Mesin ini bekerja dengan cara memipih lembaran daun nanas dan mengeluarkan ekstrak daun nanas menyerupai bubur. Hasilnya, berupa gulungan serat kasar basah yang kemudian dikeringkan, disisir, dan dipilin menjadi seikat benang. Benang halus berwarna putih kecoklatan inilah menjadi bahan dasar kain serat alami yang ramah lingkungan.
Alan, pemuda asal Desa Cikadu, Kabupaten Subang ini memanfaatkan limbah daun nanas sejak tahun 2013. Berbekal keilmuan teknik tekstil di Bandung, ia tergerak untuk meningkatkan nilai dari nanas. Apalagi nanas telah menjadi tulang punggung bagi para petani di desanya.
“Limbah daun nanas dari kebun sekitar desa. Saya beli dari petani langsung dan diolah di sini,” kata Alan Sahroni.
Mengolah daun nanas menjadi sehelai kain perlu ketelatenan dan kesabaran. Apalagi, semua proses ini dilakukan dengan tangan pengrajinnya. Dari mulai pemipihan, pemintalan, hingga menjadi lembaran kain. Proses dari serat menjadi kain dilakukan oleh ibu-ibu sekitar rumahnya.
“Tiap hari mereka bekerja sambil mengasuh anak-anak. Jadi, warga di sini semakin produktif,” katanya bangga.
Serat daun nanas kini memang semakin popular di masyarakat. Apalagi bahan serat alami ini ramah lingkungan. Dan biasanya dimanfaatkan untuk kebutuhan tekstil, fashion, maupun kerajinan dekorasi.
“Saya pasarkan ke kota-kota besar seperti Bandung dan Jakarta, “ kata pemilik Alfiber ini.
Alan mempromosikan produk kain serat nanasnya melalui media sosial maupun kelompok pengrajin lainnya. Tujuannya, agar produk dari Alfiber ini semakin dikenal masyarakat luas Indonesia. Menurutnya, bukan hanya daun nanas yang bisa dijadikan serat alami. Bahan lainnya seperti pelepah pisang hingga jerami bisa dimanfaatkan menjadi serat berkualitas tinggi.
“Indonesia kaya dengan bahan alam serat. Tinggal kita kreatif dan mau memanfaatkan bahan alam ini,” katanya.
Mimpi membuat serat kain berbahan daun nanas memang sudah menjadi mimpinya sejak ia kuliah di Bandung. Menurutnya, dengan memanfaatkan limbah daun nanas di sekitar desanya bisa mendongkrak perekonomian warga sekitar. Bahkan, bisa menjadi sarana edukasi dan wisata tentang pengolahan bahan alam.
“Ada nilai tambah buat warga. Jadi bukan sekedar menjual buah nanas saja,” katanya.
Nanas memang salah satu komoditas hortikultura unggulan di Subang. Bahkan menyuplai kebutuhan ekspor buah segar ke berbagai mancanegara. Jawa Barat sendiri merupakan sentra pemasok nanas terbesar kedua setelah Lampung dengan capaian sebesar 246 ribu ton.
Bagi Indonesia, buah nanas termasuk produksi terbesar keempat dengan capaian produksi sebesar 1,79 juta ton. Menurut data BPS di tahun 2017, volume ekspor nanas mencapai 8,02 ribu ton atau senilai US $ 4.969.234. Nanas ini memasok kebutuhan bagi negara seperti United Arab Emirate, Korea, Jepang, Saudi Arabia, dan Hong Kong.
“Nanas memang banyak manfaatnya. Baik diolah menjadi bahan baku makanan, pakan ternak, maupun serat alamnya, “ kata Alan saat ditemui di ruang kerjanya.
Alan Sahroni terus mengembangkan produknya agar bisa menghasilkan kain yang berkualitas. Termasuk teknik pemintalan agar prosesnya bisa berjalan dengan baik. Salah satunya dengan membuat mengubah alat tenun yang disebut dengan ATBM Dogan. Dogan sendiri singkatan dari dobby dan gedogan yang dirancang khusus untuk mendukung pemintalan secara sederhana sekaligus fungsional.
“Alatnya bisa dibawa kemana-mana dan bisa menghasilkan motif yang berbeda,” katanya. Mesin buatannya tergolong murah dan cocok digunakan sebagai alat tenun serat alam. Untuk satu kilogram serat kering daun nanas, Alan menjual seharga 200 ribu. Serat i bisa bertahan hingga satu tahun dengan kondisi penyimpanan kering dan bersih.
“Peluangnya masih besar. Serat kering maupun sisa-sisa serat bisa digunakan untuk fiber maupun furniture bernilai tinggi,” katanya bangga.