SOKOGURU - Di banyak rumah sederhana, bantuan sosial masih menjadi penyangga dapur tetap mengepul dan anak-anak bisa makan layak.
Namun, tak sedikit warga baru sadar bahwa bantuan itu kini tak lagi sekadar soal miskin atau tidak, melainkan soal apakah data mereka masih dianggap “hidup” di sistem pemerintah. Di titik inilah DTSEN menjadi penentu, diam-diam tapi sangat menentukan.
Pemerintah terus berupaya memperbaiki ketepatan sasaran bantuan sosial, termasuk BPNT dan BLT Kesra yang menyasar keluarga miskin dan rentan.
Salah satu perubahan besar yang kini memengaruhi nasib jutaan warga adalah penggunaan Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional atau DTSEN sebagai rujukan utama penyaluran bantuan.
DTSEN bukan sekadar basis data biasa. Di dalamnya, pemerintah menyatukan informasi sosial, ekonomi, dan demografi keluarga dari berbagai sumber, lalu memadankannya agar potret kondisi warga lebih mendekati kenyataan.
Dari data inilah sistem menilai siapa yang masih layak menerima bantuan dan siapa yang sudah harus bergeser keluar.
BPNT sendiri dirancang untuk menjaga ketahanan pangan keluarga berpenghasilan rendah.
Bantuan diberikan dalam bentuk saldo yang hanya bisa dibelanjakan kebutuhan pokok melalui mekanisme resmi.
Di atas kertas, skema ini tampak sederhana, tetapi akurasinya sangat bergantung pada data yang tersimpan di DTSEN.
Masalah muncul ketika data keluarga tidak lagi sesuai kondisi nyata. Ada keluarga yang sudah bertambah anggota, kehilangan pekerjaan, atau justru mulai memiliki penghasilan tetap, tetapi perubahan itu tak pernah tercatat.
Akibatnya, sistem bisa salah membaca kondisi warga, dan bantuan pun meleset sasaran.
Di sinilah pentingnya pemutakhiran data DTSEN. Ketika warga memperbarui informasi keluarga, pemerintah memiliki dasar yang lebih adil untuk menilai kelayakan bantuan.
Langkah ini juga mencegah keluarga yang sudah relatif mampu terus menerima bantuan, sementara warga lain yang lebih membutuhkan justru terlewat.
Beberapa elemen data yang menjadi perhatian utama meliputi jumlah anggota keluarga, status pekerjaan dan penghasilan, kondisi tempat tinggal, hingga akses pendidikan dan kesehatan.
Data yang lengkap memberi gambaran utuh tentang kehidupan sehari-hari sebuah keluarga, bukan sekadar angka di atas kertas.
Selain BPNT, DTSEN juga menjadi kunci dalam penentuan penerima BLT Kesra 2025.
Program ini memberikan bantuan tunai Rp300.000 per bulan yang dicairkan sekaligus selama tiga bulan.
Artinya, setiap keluarga penerima manfaat berhak menerima Rp900.000 dalam satu tahap pencairan.
Sasaran BLT Kesra berada pada kelompok ekonomi terbawah, khususnya warga dalam desil 1 hingga desil 4.
Pemerintah dengan tegas mengecualikan ASN, TNI, dan Polri dari program ini agar bantuan benar-benar menyentuh masyarakat yang membutuhkan.
Prinsipnya sederhana: bantuan harus tepat, bukan sekadar cepat.
Kini, warga bisa mengecek status penerima BLT Kesra secara mandiri melalui ponsel.
Lewat situs resmi Kemensos atau aplikasi Cek Bansos, masyarakat dapat mengetahui apakah namanya tercatat, sekaligus melihat jenis bantuan lain yang mungkin diterima.
Transparansi ini memberi ruang bagi warga untuk aktif mengawasi hak sosialnya sendiri.
Jika nama belum terdaftar atau data tidak sesuai, sistem juga menyediakan jalur koreksi. Warga bisa mengajukan usulan atau sanggahan, baik secara digital maupun dengan mendatangi kelurahan.
Proses ini mungkin tampak sepele, tetapi dampaknya bisa menentukan apakah sebuah keluarga tetap bertahan atau justru kehilangan hak bantuannya.
Pada akhirnya, DTSEN bukan sekadar sistem, melainkan cermin kondisi sosial masyarakat. Ketika data dijaga tetap jujur dan mutakhir, bantuan sosial bisa bekerja sebagaimana mestinya: hadir di saat paling dibutuhkan.
Pertanyaannya kini bukan lagi apakah bantuan ada, melainkan apakah data kita sudah benar-benar mencerminkan kehidupan yang dijalani. (*)