Soko Berita

Regulasi Ketat! Ojol dan Taksi Non-KTP Bali Dilarang, Bagaimana Nasib UMKM Transportasi? Lalu Daerah Lain?

Rencana aturan baru di Bali mewajibkan sopir transportasi memiliki KTP Bali. Bagaimana dampaknya bagi UMKM lokal? Simak selengkapnya di sini! Lalu daerah lain?

By Ratu Putri Ayu  | Sokoguru.Id
12 Maret 2025

Bali akan berlakukan aturan baru! Sopir ojol & taksi wajib KTP Bali. Apakah ini peluang atau tantangan bagi UMKM lokal? Foto sokoguru.id.

SOKOGURU - Gubernur Bali, Wayan Koster, mewacanakan menerapkan regulasi baru yang mengatur identitas pengemudi dan kendaraan transportasi umum yang beroperasi di Bali. 

Peraturan ini mewajibkan setiap sopir memiliki KTP Bali dan kendaraan harus menggunakan nomor polisi Bali.

Aturan ini berlaku untuk seluruh transportasi berbasis aplikasi maupun konvensional, termasuk taksi dan ojek. 

"Membentuk peraturan daerah dan peraturan gubernur yang berpihak pada SDM lokal. Usaha transportasi wisata harus berizin, pengusaha harus ber-KTP dengan alamat di Bali. Pengendara transportasi harus ber-KTP dengan alamat di Bali. Kendaraan transportasi harus memakai nomor polisi DK," kata Koster dalam rapat koordinasi bersama kepala daerah se-Bali di Puspem Kabupaten Badung pada Rabu, 12 Maret 2025.

Aplikasi Transportasi Harus Menyesuaikan

Selain itu, Koster menekankan bahwa aplikasi transportasi yang beroperasi di Bali harus mengikuti regulasi tersebut. 

"Mengatur penggunaan aplikasi dengan mensyaratkan pengusaha dan sopir harus KTP dengan alamat Bali serta kendaraan bernomor polisi DK," tambahnya.

Melindungi Pekerja Lokal dan Ketertiban Transportasi

Koster menilai kebijakan ini sangat penting untuk menjaga kesejahteraan tenaga kerja lokal di Bali. 

Selain itu, aturan ini bertujuan untuk menertibkan sistem transportasi di wilayah yang menjadi destinasi wisata favorit ini.

Tekanan Lapangan Kerja di Bali

"Kita tidak bisa terus membiarkan kondisi ini. Penduduk lokal semakin tertekan karena lapangan pekerjaan semakin terbatas," ujarnya.

Lebih lanjut, Koster menegaskan bahwa kebijakan ini dibuat demi melindungi masyarakat Bali. 

"Di daerah lain juga ada kebijakan serupa. Bali kini mengalami lonjakan pekerja dari luar, dan kita perlu mengatur ini demi kesejahteraan warga lokal," lanjutnya.

Isu Diskriminasi dalam Aturan Baru

Meskipun banyak pihak mendukung regulasi ini, ada juga yang mengkritiknya. Namun, Koster menegaskan bahwa kebijakan ini tidak bersifat diskriminatif. 

Ia menegaskan bahwa setiap pelanggaran aturan akan dikenakan sanksi, meskipun detailnya belum disebutkan.

"Aturan ini bukan diskriminatif. Kita hanya ingin menertibkan agar masyarakat lokal bisa tetap bekerja di daerahnya sendiri," tegasnya.

Tuntutan Sopir Taksi Konvensional

Sebelumnya, pada Senin (6/1), ratusan sopir taksi konvensional yang tergabung dalam Forum Perjuangan Driver Pariwisata Bali melakukan aksi di kantor DPRD Bali. 

Mereka meminta pemerintah membatasi jumlah taksi online yang beroperasi di Bali.

Selain itu, mereka menuntut agar hanya warga dengan KTP Bali yang boleh bekerja sebagai sopir taksi. 

Mereka berpendapat bahwa maraknya kendaraan berpelat non-DK mengurangi peluang kerja sopir lokal.

Protes dari Perkumpulan Transportasi Online Bali

Di sisi lain, Perkumpulan Transportasi Online Bali (PTOB) menolak rencana pemberlakuan aturan yang mewajibkan sopir taksol memiliki KTP Bali. 

Mereka menilai kebijakan ini bersifat diskriminatif dan berpotensi memicu ketegangan sosial.

"Jika aturan ini diterapkan, akan timbul perpecahan karena tidak berlandaskan asas keadilan. Selama ini, transportasi online kerap menjadi kambing hitam penyebab kemacetan, padahal tidak ada data dan kajian yang membuktikan hal itu," ujar perwakilan PTOB pada Februari lalu.

Implikasi Kebijakan bagi Pekerja Transportasi

Jika aturan ini benar-benar diberlakukan, maka akan terjadi perubahan besar dalam industri transportasi Bali. 

Sopir non-KTP Bali yang selama ini mengandalkan pekerjaan di sektor ini harus mencari alternatif lain.

Dampak Ekonomi bagi Sektor Pariwisata

Bali sebagai destinasi wisata utama tentu akan mengalami dampak dari kebijakan ini. Baik pelaku usaha transportasi maupun wisatawan perlu menyesuaikan diri dengan regulasi baru yang tengah disiapkan.

Mampukah Kebijakan Ini Diterapkan?

Aturan ini masih dalam tahap wacana, namun telah memicu perdebatan di berbagai kalangan. 

Bagaimana implementasi kebijakan ini ke depannya? Apakah aturan ini benar-benar akan melindungi tenaga kerja lokal tanpa merugikan sektor transportasi secara keseluruhan? Mari kita tunggu perkembangan selanjutnya. (*)