SOKOGURU - Menteri Sosial Saifullah Yusuf meminta agar siswa dan siswi yang mengundurkan diri dari program Sekolah Rakyat Menengah Atas (SRMA) 33 di Kota Tangerang Selatan, Banten segera diganti dengan peserta baru.
“Akan diganti oleh siswa yang lain. Banyak sekali yang ngantre. Kita tidak bisa memaksa, dan kita lakukan seleksi ulang. Banyak lagi yang daftar. Karena semua dijamin oleh negara atau pemerintah,” katanya di Tangerang, Minggu (19/10/2025).
Permintaan ini — yang menjawab siapa, apa, kapan, di mana, mengapa, dan bagaimana — menunjukkan upaya pemerintah agar program pendidikan sosial bagi anak‑miskin di Tangsel tetap berjalan optimal.
Program SRMA 33 merupakan bagian dari inisiatif pemerintah melalui Kementerian Sosial Republik Indonesia untuk menjangkau anak‑anak dari keluarga miskin dan miskin ekstrem yang belum memperoleh akses pendidikan yang layak.
Menteri Sosial menyatakan bahwa keputusan pengunduran diri beberapa siswa dari SRMA 33 tidak mengurangi komitmen pemerintah untuk tetap terbuka bagi peserta lain.
“Jadi ini adalah harapan Pak Presiden Prabowo Subianto untuk menjangkau yang belum terjangkau,” ucap Gus Ipul — sapaan akrab Saifullah Yusuf.
Sekolah tersebut berlokasi di Jelupang, Serpong, Tangerang Selatan, dan memiliki sistem berasrama yang mungkin belum terbiasa oleh semua peserta, sehingga menimbulkan tantangan adaptasi bagi sebagian siswa.
Menurut data dari Direktur Rehabilitasi Sosial Lanjut Usia Suratna pada Jumat (17/9), sembilan siswa dari SRMA 33 di Tangerang Selatan telah mengundurkan diri, beberapa tanpa keterangan yang jelas.
Dengan mundurnya sembilan siswa, jumlah total siswa yang masih aktif menjadi 141 dari total awal 150 orang — artinya ada pengurangan sekitar 6% dari jumlah peserta.
Pihak sekolah mencatat bahwa salah satu alasan utama pengunduran diri adalah siswa belum siap dengan sistem kedisiplinan asrama: “Alasan utamanya karena anak‑anak belum siap disiplin, seperti bangun subuh, mandi, sekolah, dan kegiatan lainnya. Mereka lebih senang bebas jajan di luar,” ujar Suratna.
Menteri Sosial menambahkan bahwa peserta program memang terlebih dahulu melalui proses asesmen dan pendampingan oleh petugas PKH (Program Keluarga Harapan), yang mendatangi orang tua, melakukan dialog, dan meminta persetujuan untuk bersekolah di SRMA.
“Jadi oleh pendamping PKH didatangi, diajak dialog, apakah datanya sesuai dengan fakta. Setelah itu, orang tuanya menandatangani kesediaan untuk sekolah di Sekolah Rakyat,” ujarnya.
Pengunduran diri peserta dari SRMA 33 menimbulkan kesan bahwa sistem asrama dan disiplin di sekolah sosial bisa menjadi hambatan bagi sebagian siswa — hal ini menjadi pembelajaran penting bagi pengelola program serupa.
Namun, upaya segera melakukan seleksi ulang dan mengganti dengan antrean siswa yang telah menunggu menunjukkan respons cepat pemerintah dalam menjaga keberlanjutan program pendidikan sosial.
Dampak jangka panjangnya — jika dikelola dengan baik — dapat membuka peluang pendidikan untuk anak‑anak yang sebelumnya sulit terjangkau, mendukung pemerataan akses dan sosial inklusi.
Dengan seluruh fakta ini, jelas bahwa program pendidikan sosial seperti SRMA 33 memiliki tantangan namun juga kesempatan besar. Pengunduran diri siswa bukan akhir, melainkan trigger untuk perbaikan proses seleksi dan adaptasi. (*)