Soko Berita

Beda Idul Fitri dan Idul Adha, Kamu Pasti Baru Tahu Soal Ini!

Idul Fitri bukan sekadar perayaan, tetapi juga momentum untuk kembali kepada fitrah, baik secara fisik maupun spiritual. Simak penjelasan lengkapnya di sini!

By Cikal Sundana  | Sokoguru.Id
30 Maret 2025

Idul Fitri bukan sekadar perayaan, tetapi juga momentum untuk kembali ke fitrah setelah sebulan penuh berpuasa. Tradisi makan pagi di Idul Fitri menjadi simbol bahwa ibadah Ramadan telah usai, itulah sebabnya puasa dilarang pada 1 Syawal. Dalam makna Idul Fitri, kita diajarkan untuk tidak hanya kembali suci secara fisik, tetapi juga spiritual.

SOKOGURU - Idul Fitri menandai berakhirnya bulan Ramadan dan disambut dengan tradisi makan di pagi hari. 

Hal ini menjadi simbol bahwa ibadah puasa telah selesai dan tidak boleh dilakukan lagi pada 1 Syawal. Oleh karena itu, umat Islam dilarang berpuasa di hari pertama Idul Fitri.

Berbeda dengan Idul Adha yang mengutamakan salat terlebih dahulu sebelum menikmati hidangan, pada Idul Fitri dianjurkan untuk makan ringan sebelum berangkat ke masjid. 

Kurma, kue, atau air putih menjadi pilihan yang dianjurkan untuk dikonsumsi sebagai tanda bahwa bulan Ramadan telah berakhir.

Istilah "Fitri" berasal dari kata "fitrun" atau "futur" yang berarti makanan atau berbuka. 

Oleh karena itu, hari raya ini disebut Idul Fitri karena identik dengan waktu berbuka setelah sebulan penuh berpuasa. 

Makan di pagi hari Idul Fitri menjadi simbol bahwa ibadah puasa telah tuntas.

Makna Fitrah dalam Konteks Spiritual

Selain aspek fisik, ada juga konsep "fitrah" yang lebih berhubungan dengan keadaan spiritual manusia. 

Fitrah merupakan kondisi jiwa yang kembali suci setelah melalui proses ibadah Ramadan. Ini berbeda dengan "fitrun" yang mengacu pada makanan fisik.

Jika "fitri" berkaitan dengan makanan untuk tubuh, "fitrah" adalah makanan bagi jiwa. 

Seperti halnya tubuh yang membutuhkan asupan bergizi agar tetap sehat, jiwa juga memerlukan nilai-nilai kebaikan agar tidak terkontaminasi oleh perbuatan buruk.

Fitrah dan Hubungannya dengan Ajaran Islam

Dalam ajaran Islam, fitrah merupakan kecenderungan manusia untuk selalu berbuat baik. 

Jika seseorang mengikuti fitrahnya dengan benar, maka perilakunya akan mencerminkan nilai-nilai kejujuran, kesopanan, dan kasih sayang. Fitrah ini harus dijaga agar tidak rusak oleh kebiasaan buruk.

Al-Qur’an menegaskan bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan manusia untuk kembali kepada fitrahnya. 

Dalam Surah Ar-Rum ayat 30, Allah memerintahkan umat manusia untuk mengikuti ajaran-Nya dengan cara yang benar dan lurus.

Islam mengajarkan bahwa menjaga fitrah berarti menjalankan ibadah sesuai dengan ketentuan agama. 

Prinsip-prinsip utama seperti salat, puasa, zakat, dan kejujuran adalah bagian dari cara manusia menjaga fitrah mereka agar tetap bersih.

Syahadat sebagai Fondasi Fitrah dalam Islam

Syahadat adalah deklarasi utama dalam Islam yang menegaskan keimanan seseorang kepada Allah dan Rasul-Nya. 

Dengan syahadat yang benar, seseorang tidak akan mencampuradukkan keyakinannya dengan ajaran lain, tetapi tetap menghormati perbedaan kepercayaan orang lain.

Salat yang dilakukan dengan baik dan benar akan membentuk karakter seseorang agar terhindar dari perbuatan keji dan mungkar. 

Dalam Surah Al-Ankabut ayat 45, dijelaskan bahwa salat yang benar dapat menjauhkan seseorang dari keburukan.

Islam sebagai Jalan untuk Menjaga Fitrah

Islam mengajarkan bahwa setiap manusia memiliki kecenderungan alami untuk berbuat baik. Jika seseorang mengikuti ajaran Islam dengan benar, maka ia akan menjalani hidup yang lurus dan penuh kejujuran.

Kejujuran, rendah hati, kedermawanan, dan kelembutan adalah bagian dari fitrah manusia. 

Jika seseorang hidup berdasarkan prinsip-prinsip ini, maka ia akan menjadi individu yang lebih baik dan memberikan manfaat bagi lingkungannya.

Idul Fitri bukan sekadar perayaan setelah Ramadan, tetapi juga momentum untuk kembali kepada fitrah, baik secara fisik maupun spiritual. 

Dengan mengikuti ajaran Islam secara benar, manusia dapat menjaga keseimbangan antara kebutuhan tubuh dan jiwa. (*)