SOKOGURU - Umat Islam dianjurkan melaksanakan ibadah puasa Syawal selama 6 hari setelah Hari Raya Idul Fitri.
Namun, pada momen lebaran ini umat Islam biasanya masih menjalankan ibadah silaturahmi ke rumah orangtua, anak saudara, kerabat hingga tetangga.
Lantas, bagaimana hukumnya jika sedang puasa Syawal lalu batal karena disuguhkan makanan? Apakah boleh menolaknya untuk melanjutkan puasa?
Dalam artikel di laman NU Online, Ustadz Ahmad Muntaha AM menjelaskan, hendaknya ada komunikasi terbuka antara tamu dan tuan rumah, dengan memberi tahu jika sedang menjalankan puasa Syawal.
Jika tuan rumah tidak keberatan dengan puasa tamunya, maka puasa Syawal tersebut bisa dilanjutkan.
Namun sebaliknya, jika tuan rumah merasa keberatan karena tidak menikmati hidangannya, maka membatalkan puasa dengan menyantap makan yang sudah disiapkan tuan rumah justru lebih utama.
"Kalau ia (tuan rumah) tidak keberatan, maka kita tetap berpuasa. Jika ia keberatan, maka lebih utama kita memakan hidangannya, dan berpuasa di hari-hari bulan Syawal lainnya," kata Ustadz Muntaha.
Pendapat ini berlandaskan teladan Nabi Muhammad ketika ada sebagian sahabat bersikukuh puasa sunnah di tengah jamuan makanan.
Rasulullah kemudian menyuruh mereka untuk membatalkan puasa, kemudian menggantinya di kemudian hari.
Dalam sebuah hadis yang artinya: 'Saudara Muslimmu sudah repot-repot (menyediakan makanan), dan kamu bertaka, saya sedang berpuasa. Batalkanlah puasamu dan qadha-lah pada hari lain sebagai gantinya'. (HR.Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi).
Menurut Ustadz Ahmad Muntaha para ulama kemudian merumuskan, ketika tuan rumah keberatan atas puasa sunnah tamunya, maka hukum membatalkan puasa sunnah baginya untuk menyenangkan hati (idkhalussunur) tuan rumah adalah sunnah karena perintah Nabi.
Ia juga menyebut, dalam kondisi seperti kasus tersebut, pahala membatalkan puasa lebih utama daripada pahala berpuasa.
Pendapat ini sebagaimana dikemukakan Sayyid Abu Bakar bin Syatha Ad-Dimyathi dalam karyanya I'anatut Thalibi. Wallahu A'lam Bishawaf.