SOKOGURU - Tradisi mudik atau pulang kampung menjelang Hari Raya Idul Fitri telah menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya masyarakat Indonesia.
Perjalanan jauh yang ditempuh seringkali menimbulkan pertanyaan, terutama bagi umat Islam yang menjalankan ibadah puasa Ramadhan.
Apakah boleh untuk tidak berpuasa saat mudik?
Menanggapi hal ini, Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI, KH. Abdul Muiz Ali mengatakan, perjalanan mudik dengan jarak tempuh yang memenuhi ketentuan sebagai musafir, diperbolehkan untuk tidak berpuasa.
"Ketentuan jarak tempuh ini sama dengan ketentuan yang memperbolehkan seseorang untuk menjamak atau mengqashar shalat," kata Abdul Muiz Ali, seperti dilansir dari laman MUI.
Dasar Hukum dan Dalil
Keringanan bagi musafir untuk tidak berpuasa ini didasarkan pada beberapa dalil, salah satunya adalah firman Allah SWT dalam Al-Qur'an Surat Al-Baqarah ayat 185:
"فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ"
Artinya: "Barang siapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain..."
Selain itu, para ulama fiqih juga menjelaskan secara detail mengenai keringanan ini dalam kitab-kitab mereka.
Ketentuan dan Syarat Musafir
Dalam kitab Kanzur Raghibin Syarh Minhajut Thalibin, dijelaskan bahwa:
"(وَيُبَاحُ تَرْكُهُ لِلْمُسَافِرِ سَفَرًا طَوِيلا مُبَاحًا) فَإِنْ تَضَرَّرَ بِهِ فَالْفِطْرُ أَفْضَلُ وَإِلا فَالصَّوْمُ أَفْضَلُ كَمَا تَقَدَّمَ فِي بَابِ صَلاةِ الْمُسَافِرِ. (وَلَوْ أَصْبَحَ) الْمُقِيمُ (صَائِمًا فَمَرِضَ أَفْطَرَ) لِوُجُودِ الْمُبِيحِ لِلإِفْطَارِ. (وَإِنْ سَافَرَ فَلا) يُفْطِرُ تَغْلِيبًا لِحُكْمِ الْحَضَرِ وَقِيلَ يُفْطِرُ تَغْلِيبًا لِحُكْمِ السَّفَرِ"
Artinya: "Dan dibolehkan meninggalkan berpuasa bagi seorang musafir dengan perjalanan yang jauh dan diperbolehkan (mubah). Bila dengan berpuasa seorang musafir mengalami mudharat maka berbuka lebih utama, bila tidak maka berpuasa lebih utama sebagaimana telah lewat penjelasannya pada bab shalatnya musafir. Bila pada pagi hari seorang yang bermukim berpuasa kemudian ia sakit maka ia diperbolehkan berbuka karena adanya alasan yang membolehkannya berbuka. Namun bila orang yang mukim itu melakukan perjalanan maka ia tidak dibolehkan berbuka dengan memenangkan hukum bagi orang yang tidak bepergian. Dikatakan juga ia boleh berbuka dengan memenangkan hukum bagi orang yang bepergian."
Selain itu, dalam kitab Mughnil Muhtaj dijelaskan pula mengenai waktu dimulainya keringanan berbuka bagi musafir.
"وَلَوْ نَوَى وَسَافَرَ لَيْلًا، فَإِنْ جَاوَزَ قَبْلَ الْفَجْرِ مَا اُعْتُبِرَ مُجَاوَزَتُهُ فِي صَلَاةِ الْمُسَافِرِ أَفْطَرَ، وَإِلَّا فَلَا"
Artinya: "Bila seseorang berniat puasa dan melakukan perjalanan pada malam hari, bila sebelum terbitnya fajar ia telah melewati batasan yang ditetapkan dalam bab sholatnya musafir maka ia boleh berbuka, bila tidak maka tidak boleh berbuka."
Prioritas Berpuasa dan Persiapan Mudik
Meskipun diberikan keringanan, Kiai AMA menekankan bahwa jika seorang musafir merasa kuat untuk berpuasa dan tidak mengalami kesulitan yang berarti, maka berpuasa tetap lebih utama.
Oleh karena itu, perencanaan mudik yang matang sangat penting, termasuk memilih waktu perjalanan yang tepat dan mempersiapkan bekal yang cukup.
Selain itu, penting bagi para pemudik untuk membekali diri dengan pengetahuan tentang tata cara ibadah selama perjalanan, agar ibadah yang dilakukan tetap sah dan sesuai dengan syariat.
Dengan memahami ketentuan dan syarat yang berlaku, diharapkan para pemudik dapat menjalankan ibadah Ramadhan dengan lancar dan khusyuk, serta tiba di kampung halaman dengan selamat.