Kisah ini akan menjadi pertarungan bisnis milik Rona dan Roni. Keduanya
membuka kedai kopi di blok yang sama, di jalan yang sama. Kedai kopi
mereka hanya terpisahkan sebuah zebra cross, dan beberapa pengamen yang
lalu-lalang saat lampu merah datang.
Semua kondisi kedainya
serba mirip: kedai kopi di tikungan jalan, kaca yang menghadap trotoar,
barstia muda enerjik, serta menu yang sama nikmatnya.
Rona
memulai bisnis lebih awal, dengan nama Kedai Rindu Malam. Nama yang
mengingatkan kita kepada tenda pecel lele atau seafood pinggir jalan ini
cukup sukses menggaet pelanggan. Di seberang Kedai Rindu Malam, Roni
hampir rampung membenahi bangunan kedainya. Selang seminggu, kedai kopi
milik Roni resmi buka. Kedai itu dinamai Depot Kopi.
Sebulan
pertama, keduanya memiliki strategi yang sama: promo besar-besaran.
Pelanggan datang dan pergi dengan cepat. Begitu pula dengan para ojek
online.
Pembukaan di bulan pertama sukses besar. Publik
menjadi tahu ada dua kedai kopi baru di ujung jalan. Tapi kemudian, di
bulan berikutnya, pelanggan kedua kedai itu mulai surut. Pemandangan
kedai yang sibuk perlahan berubah menjadi etalase kosong, lengang.
Kemanakah para pelanggan pergi?
Mengatasi
kesepian itu, Rina membuat acara live music. Suara riuh di dalam kedai
menjadi daya tarik bagi pelancong yang lewat. Pengunjung pun
berdatangan. Mereka semua tampak menikmati suguhan musik di panggung.
Respons
positif itu menjadikan live music mulai rutin digelar di Kedai Rindu
Malam. Tapi seperti live music pada umumnya, hanya band yang bernyanyi.
Tak
mau kalah, Roni hadirkan konten serupa. Pengunjung Depot Kopi mulai
ramai, hingga akhirnya live music menjadi rutin tiap malam. Bedanya,
Roni menyiarkan penampilan live music itu di Instagram dan Youtube.
Tidak seperti Kedai Rindu Malam, follower Depot Kopi di Instagram bisa
menonton keseruan kedai malam itu dari handphone masing-masing.
Juga para pelancong Youtube bisa mengakses session music di Depot Kopi Ketika mencari band kesukaannya.
Dua
bulan berselang, Depot Kopi menjadi lebih ramai dibandingkan Kedai
Rindu Malam. Bahkan live music di Depot Kopi makin meriah dengan
hadirnya beberapa artis lokal untuk menyanyi.
Di sana
interaksi antara artis dengan pengunjung menjadi baur. Tak ada sekat apa
pun, mereka bisa bernyanyi bersama layaknya sahabat lama yang baru saja
jumpa.
Akhirnya, kompetisi bernyanyi pun dilakukan tiap
minggu di Depot Kopi. Pengunjung bernyanyi, jurinya artis lokal,
hadiahnya dua gelas kopi gratis dan piala bergilir mingguan. Para
pemenang pun akan diposting di instagram Depot Kopi selama seminggu. Itu
artinya, ketenaran mereka terangkat selama seminggu.
Sekali
dayung, dua-tiga pulau terlewati. Kecerdikan Roni membuat pengikut
Depot Kopi yang melihat kompetisi bernyanyi di Instagram tertarik untuk
berkunjung. Para penantang menjadi panas, segera ingin menjajal mikrofon
Depot Kopi.
Hal itu pun menjadi ajang promosi
gratisan—hanya bermodalkan kuota handphone—bagi Roni. Makin sering live
instagram, makin banyak pula pengikut Depot Kopi. Makin sering live
instagram, notifikasi di handphone pengikut semakin sering muncul:
semakin sering pula nama Depot Kopi terlihat orang-orang.
Sementara
itu, Kedai Rindu Malam milik Rona stuck di situ-situ saja. Nuansa live
music yang dihadirkan memang meriah, tapi hanya yang berkunjung saja
yang tahu. Bahkan beberapa kali Kedai Rindu Malam hanya menjadi tempat
pilihan karena Depot Kopi terlalu penuh untuk didatangi. Lebih jauh
lagi: tak ada interaksi yang dijalin dengan pelanggan.