Saya rasa semua orang akan tepok jidat saat kendaraannya mogok di perjalanan. Apa lagi saat ketahuan penyebabnya: lupa servis! Orang itu menepok jidatnya lagi. Biasanya setelah semua itu terjadi, tagihan bengkel akan membengkak. Akhirnya orang itu menepok jidatnya sendiri tiga kali.
Sebetulnya simpel. Setelah jauh berjalan, mesin kendaraan akan kelelahan. Alhasil oli mesti diganti, aki mesti diisi, suku cadang yang rusak mesti diperbaiki. Semua aktivitas itu merupakan agenda rutin. Jika terlupakan sekali saja, maka kendaraan tidak akan nyaman digunakan, salah-salah akan mogok dan tak bisa melaju kembali.
Bisnis juga memiliki mesin yang harus diservis secara rutin. Mesin itulah penggerak bisnis dalam skala apa pun. Mesin itu, tidak lain dan tidak bukan, adalah akuntansi.
Nah, siapa di antara Anda yang masih menyepelekan pencatatan akuntansi? Siapa yang masih kebingungan dalam memisahkan uang bisnis dan uang pribadi? Siapa yang tidak mencatat untuk apa saja uang dihabiskan? Siapa yang tidak melakukan evaluasi setelah laporan keuangan itu selesai dibuat?
Sama seperti servis kendaraan, pencatatan keuangan mesti dilakukan rutin, baik mingguan maupun bulanan. Di sinilah para pebisnis sering khilaf, apa lagi saat bisnis sedang naik-naiknya. Rasanya kewajiban mencatat keuangan menjadi satu hal yang mudah terlupakan oleh omzet yang terus merangkak naik.
Ingat, lupa membuat pencatatan keuangan bisa berakibat fatal. Pencatatan keuangan merupakan dasar dari laporan, evaluasi, dan perencanaan. Dari pencatatan keuangan, kita bisa mengetahui laporan laba/rugi dari aktivitas bisnis. Lalu kita bisa mengetahui untuk urusan operasional apa saja uang dihabiskan.
Yang terakhir, yang terpenting, dari laporan keuangan kita bisa melihat tingkat ketahanan usaha kita. Jadi dengan laporan keuangan yang rapi, kita bisa menilai sampai kapan usaha kita mampu bertahan. Setelahnya kita bisa merencanakan usaha berdasarkan data.
Simpelnya, jika pemasaran usaha kita sudah baik, maka ongkos untuk pemasaran bisa digunakan untuk hal lain yang akan mendorong usaha kita, misalnya untuk membetulkan genteng bocor atau ikut pelatihan online.
Contoh lain, kalau ongkos produksi menjadi mahal karena kenaikan bahan baku, kita bisa mengurangi ongkos langganan wifi—tentu kita mengambil keputusan setelah menilai wifi tidak lagi diperlukan. Akhirnya kita bisa melihat bagaimana dan sampai kapan bisnis kita bisa berjalan.
Jadi siapa yang masih menepok jidat tiga kali setelah membaca tulisan ini?